Diambil Malam
    Cerpen Yusrizal K.W.

    Hujan deras sekali. Aku meringkuk dan memperketat selimut. Dari kamar sebelah, terdengar batuk ayah. Lalu sesakan nafasnya yang khas, berat dan bagai menyimpan lendir di tenggorokannya, membuat suasana malam terasa kurang sedap: selain hujan cuma ada suara penyakit ayah.

    Antara tidur dan tidak, dari luar terdengar suara orang berdehem. Selanjutnya, pintu digedor dengan sentuhan agak kasar. Aku menyalakan korek api, melihat waktu dari jam tangan yang kusembunyikan di bawah bantal. Pukul satu malam.

    Kembali pintu digedor dengan nada yang kurang biasa. Ada perasaan cemas dalam hatiku. Jangan-jangan perampok! Baru saja aku berkata-kata curiga dalam hati, terdengar suara parau dari kamar ayah.

    "Tunggu!"

    Di bawah bebunyian hujan menyentuh atap, kudengar pula kriutan pintu kamar dibuka, lalu seretan langkah yang sangat kuhafal: milik ayah. Merasa hatiku kurang nyaman, aku bangkit dan mengin tip dari pintu kamarku yang kungangakan sedikit, sepas kepala saja.

    Baru saja ayah membukakan pintu buat si tamu mencurigakan, darah dalam dadaku berdesir. Sebuah muncung pistol teracung ke kening ayah. Kuperhatikan lambat-lambat dalam cahaya lampu teplok di dinding ruang tamu, ada empat orang. Satu menodongkan pistol, tiga lainnya kemudian menyeret ayah seraya menutup pintu pelan-pelan. Aku ingin berteriak, namun mulut ini tiba-tiba kaku.

    Ketika begitu tersadar ayah dalam bahaya besar, aku memburu ke pintu dimana kening ayah tadi diacungkan sepucuk pistol. Samar-samar kulihat ayah diseret menembus deras hujan, dan batuknya terlepas tertahan di bawah ancaman.

    "Ayah....!"

    Hening.

    "Toloooong!"

    Namun, ketika berkali-kali aku berteriak minta tolong, yang bangun cuma ibu dan dua adikku seraya menangis. Tetangga-tetanggaku tampaknya nyenyak tidur, atau bisa jadi takut. Selan jutnya, yang kusadari ayah dibawa dalam hujan dengan sebuah mobil sedan.

    Malam yang menakutkan itu, hujan terasa tetesan hantu-hantu panjang yang mengingatkanku pada pembantaian, seperti cerita-cerita yang pernah kudengar dengan sangat keji dari pencerita yang sepertinya berdarah dingin untuk sekisah pembunuhan.

    ***

    Pagi akhirnya datang juga, walau terasa sangat lamban. Di lantai kudapati sepucuk surat, bernada ancaman: Jangan lapor polisi, Polisi tak akan mampu mengatasi semua ini.

    Akhirnya, kami terpaksa merahasiakan semua itu. Berhari-hari aku, ibu dan adik menyimpan rasa cemas. Kalau ingin menangis untuk melampiaskan kecemasan yang dalam, kami pergi sendiri-sendiri ke kamar. Seandainya ada tetangga yang datang lalu menanyakan ayah di mana, maka kami punya jawaban seragam: ayah pergi kerja ke ibukota.

    Lama kelamaan, kehilangan ayah semakin mendalam. Kepergian ayah, kurasakan seperti upaya dari Tuhan untuk mengajari kami pada kesempurnaan rasa takut yang paling sederhana. Suasana yang ditinggalkan, adalah kesepian, hilangnya suara batuk, desahan nafas, atau umpatan ayah yang kadang kasar karena sesuatu hal yang membuatnya terganggu hati.

    Sangat pedih di hati, membayangkan ayah dalam sakit, diambil ketika hujan deras lalu hilang bagai dimakan gelap bermantel hujan. Tentu, saat ini --dalam hitunganku sudah dua puluh tujuh hari ayah diambil tamu tengah malam-- ayah sedang sangat menderi ta sekali. Namun, yang aku tak habis pikir, apa maksud empat orang itu mengambil ayah, yang diistilahkan ibuku hilang malam sehingga kami merasakan siang dan malam sama-sama mencekamnya.

    Dalam suatu kesempatan selepas salat Isya, kami berdoa sama-sama bagi keselamatan ayah. Setelah itu, aku, ibu dan dua adikku menghitung-hitung kira-kira apa kesalahan ayah.

    "Ibu rasa ayah seorang yang baik!"

    "Tapi mengapa mereka mengambilnya, dengan todongan pistol lagi!" sahutku.

    "Mungkin ada yang merasa iri, karena ayah akan dicalonkan menjadi kepala desa!" ujar adikku yang bungsu. Adikku yang bungsu usianya tujuh belas tahun, namanya Salma. Sedangkan di atas Salma, atau yang tengah usianya dua puluh tahun, kami panggil Salim.

    "Atau berkaitan dengan pembebasan tanah yang dihalang-halangi ayah," kata Salim.

    Seketika mata kami tertuju pada Salim. Dugaan Salim membuat kami menjadi semakin ngeri. Teringat olehku, dimana ayah ngotot untuk mengajak warga desa agar menolak sawah ladang mereka dijual kepada develover untuk kepentingan real estate . Dan, berkat ajakan simpati ayah dengan alasan bahwa sawah ladang itu merupa kan warisan nenek moyang untuk mata pencarian turun temurun, makanya warga desa berharap kepala desa mendatang adalah ayah, yang dikenal dengan panggilan Pak Ahmad.

    Tapi, kenapa begitu caranya. Bukankah yang diperjuangkan ayah, adalah suatu yang menyangkut kelangsungan hidup orang desa. Dan terbayang lagi olehku, orang-orang yang mendatangi ayah dengan bujukan dan sedikit ancaman. Seketika, kubayangakan kepala ayah telah ditembus peluru dan mayatnya dibuang ke sungai yang jauh, dimana buaya lapar bisa memangsanya untuk menghilangkan jejak. Atau, ayah diikat dan disiksa agar mau menghasut warga desa menjual tanah dengan harga relatif sangat murah, sementara batuk kronis yang kadang mengeluarkan darah dari mulutnya terus men dera. Dalam keadaan demikian, obat-obat ayah yang masih banyak tersisa di kamar bagai berhamburan menembus benakku, selanjutnya menjelmakan hari-hari bertaring dan siap menghisap darah kehidu pan kami.

    "Sebaiknya kita lapor polisi," desis ibu.

    "Bagaimana dengan pernyataan surat itu, bu," suaraku cemas. Mata Salim dan Salma mengarak kabut legam, yang sinarnya mungkin tak jauh beda dengan yang dipunya aku dan ibu.

    Kali ini hanya kesenyapan yang menyergap. Ketakutan yang semakin absurd menjalar ke segenap hati kami, ke setiap ruang dalam rumah kami. Tanpa ada perkataan yang bisa menghibur lagi, akhirnya kami berangkat ke kamar masing-masing. Di dalam kamar, mimpi-mimpi buruk berhamburan di benakku. Kulihat kepala ayah menggelinding, dan pada suatu masa terletak di atas meja dengan darah meleleh di batang lehernya. Di kala yang lain, kulihat pula ayah mengerang dan seluruh tubuhnya penuh luka bekas tikaman senjata tajam.

    Sulit rasanya memejamkan mata, sejak ayah diambil malam oleh orang yang tak dikenal. Kadang aku menyesali diri, kenapa aku tak membantu menyelamatkan ayah malam itu, atau mengikuti kemana ayah dibawa. Atau minta sama-sama diambil malam bersama ayah.

    Akhirnya, aku makin sulit untuk merasa tenang. Hingga malam begitu larut, aku tertidur dengan sangat resahnya oleh ketakutan-ketakutan yang bentuknya selain menyerupai wajah ayah malang, juga sangat absurd.

    ***

    Tiba-tiba aku tersentak hebat. Terduduk. Lalu kunyalakan korek api, kulihat jam tangan yang selalu kusimpan di bawah bantal. Pukul tiga dini hari.

    Ketersentakanku berlanjut ketika mendadak ada suara mencurigakan kudengar dari pintu depan. Kecurigaan itu beriringan dengan gerakanku untuk mengintip di balik pintu kamar, seperti kulakukan pada ayah dulu.

    Ketika sedikit kepalaku menyembul, kulihat pemandangan yang pernah kulihat terhadap ayah dulu. Seorang menodongkan pistol ke kening ibu, dan tiga orang lainnya memaksa ibu keluar. Ketika aku buru dan berteriak, dalam kelam orang-orang jahanam itu telah melarikan ibu dengan sedan bagus.

    "Ibu...." teriakku.

    Hening.

    "Toloooong"

    Sebagaimana waktu ayah dulu, tak ada tetangga yang bangun, kecua li dua adikku dalam wajah yang sangat takut. Selama tak mampu berkata-kata, menjelang subuh terasa sangat mencekam. Kembali, sebagaimana kejadian waktu ayah diambil malam dulu, kudapati sepucuk surat bertuliskan: Jangan lapor polisi. Polisi tak akan mampu mengatasi semua ini.

    Sejak keesokan harinya, aku dan dua adikku mendiamkan semua itu. Setiap orang yang bertanya dimana ibu, maka jawaban seragam dari kami kakak beradik adalah, "Ibu pergi menjemput ayah...."

    Hari-hari berikutnya tambah mengerikan. Kian mencekan, dahsyat. Kubayangkan ayah, terbayang lempengan tubuh ibu yang terkapar dan sekarat. Kubayangkan ibu, teringat sosok ayah sakit-sakitan dan mengakhiri hidupnya dengan tragis.

    Berhari-hari, berbulan-bulan, hingga bertahun-tahun, ayah dan ibu tak kembali. Dua adikku sudah bekerja. Sementara aku tidak bisa begitu saja melupakan ayah dan ibu, yang diambil malam oleh orang tak dikenal. Sementara dua adikku, sudah bisa melupakan begitu saja, bahwa ayah dan ibu tengah hidup bersama di sisi Tuhan. Bagaimana mungkin, pikirku.

    Kini, aku yang dihempaskan ketakutan-ketakutan itu. Hingga, suatu siang yang panas, aku berjalan menuju kantor polisi. Kepada polisi, kulaporkan kejadian yang menimpa ayah dan ibuku, berikut sepucuk surat yang ditinggalkan orang-orang yang mengambil ayah dan ibu.

    "Pulanglah dulu. Istirahat di rumah. Nanti kami akan mencarikan ayah dan ibumu."

    Dengan penuh harapan, aku pulang. aku bayangkan ayah dan ibu kembali. Tapi, tujuh hari kemudian, aku kembali mendatangi kantor polisi, lantaran polisi kuketahui tak mencarikan ayah dan ibu. Jawaban polisi masih seperti sebelumnya. Hingga hari-hari beri kutnya, aku selalu melapor ke kantor polisi.

    "Tolonglah, Pak. Saya takut sekali. Tolonglah Pak. Tepati janji Pak Polisi untuk menangkap penjahat-penjahat itu. Saya mohon, Pak. Kembalikan ayah dan ibu saya," saya menangis-nangis. Tapi, polisi malah membujuk aku, dan membawa pulang. Di rumah, dua adikku menyambut dengan bujukan-bujukan yang kurang masuk akal.

    "Terima kasih, Pak. Maafkan kakak saya," kata Salma kepada salah seorang dari polisi yang mengantarkan aku pulang. Dengan senyum ramahnya, kulihat polisi itu pergi. Adikku memberi aku segelas air minum.

    Tak lama kemudian, kulihat seorang lelaki tua masuk. Adikku memanggilnya Pak Kiai.

    "Kondisinya makin aneh, Pak Kiai?" kata Salim. Gila. Adikku ini menganggap aku sakit. Kupelototi dia. Tapi, tiba-tiba Pak Kiai berkata kepadaku, "Aku tahu dimana ayah dan ibumu berada." Men dengar itu, mataku berbinar. Lalu, aku minta diantarkan ke tempat dimana ayah dan ibu berada.

    Bersama dua adikku, serta Pak Kiai aku menaiki sebuah mobil Kijang. Tak lama di perjalanan, mobil berhenti di depan sebuah gerbang yang bertulisan: Pemakaman Umum.

    Kuturuti Pak Kiai dan dua adikku. Lalu, berhenti pada dua buah kuburan yang berkesan kurang terawat.

    "Ini kuburan ayahmu. Itu kuburan ibumu," kata Pak Kiai menunjuk dua kuburan yang bersebelahan. Lama aku terpaku. Pelan-pelan, ingatanku melayang ke beberapa tahun silam. Di masa beberapa tahun silam itu, aku menyaksikan dua kematian: kematian ayah karena TBC, kematian ibu karena serangan jantung. Aku turut memakamkan ayah, juga ibu.

    "Jadi, jadi apa yang terjadi pada diriku selama ini, Pak Kiai...."

    "Bayangan burukmu tentang malaikat pencabut nyawa yang datang membawa pistol! Halusinasi!"

    Aku terpaku. Pak Kiai tersenyum mengangguk. Tak lama, kudengar bisikan Salim pada Salma, "Kupikir kakak aneh kita itu telah gila!"***

    Padang, 1 Juli 1997


    Dimuat Media Indonesia, Minggu 3 Agustus 1997