Angin malam membentur letih di dinding rumah kayu Leman. Leman masih berbaring gelisah di samping istrinya, Salina yang tengah hamil Sembilan bulan. Menunggu lahir anak pertama setelah menanti lima tahun, adalah suatu yang menggelisahkan bagi Leman.
Yang menjadi pikiran Leman saat ini, mencarikan biaya bersalin istrinya ke bidan. Mendengar cerita Lelo di kedai Mak Uncang kemarin soal biaya melahirkan di bidan, cukup membuat hati Leman tak nyaman. Lumayan mahal.
Apalagi, untuk persediaan selimut bayi dan popok saja istrinya masih menuntut kepadanya berkali-kali. Atau, ia mesti merasa menahan segan ketika empat hari lewat adik iparnya datang meminjamkan popok dan baju bekas anaknya yang kini sudah berusia tiga tahun.
"Seharusnya kita malu menerima pinjaman popok itu," kata Salina kemarin, menjelang ia pergi ke sawah di mana tempat ia menjadi petani upahan. Sehari, ia cuma bisa terima Rp3000. Dengan gaji harian yang tak mungkin setiap hari ia bisa peroleh itulah Leman mendayung kelajuan biduk rumah tangganya.
Salina memiringkan badannya ke arah Leman. Leman menikmati pejaman mata istrinya yang lelah, serta perutnya yang membalon itu. Pelan-pelan Leman meraih beberapa jumput rambut istrinya, lalu menggenggamnya lambat-lambat.
"Maafkan aku, Ilin," gumamnya menyebut nama kecil istrinya. Yah, Salina --Ilin-- bagi Leman tak lebih tumpuan kasih sayang yang setiap saat memberi semangat untuk memperjuangkan hidup. Walau di lain kadang ia pun mesti merasa sabar menerima umpatan istrinya karena kesulitan untuk melepaskan diri dari beban hidup yang setiap hari bagai mengejarnya dengan panah beracun. Malas sehari saja, berarti mempersiapkan kelaparan untuk esok hari.
***
Berkali-kali Leman berusaha untuk tidur nyenyak di samping istrinya, tapi selalu saja ia merasa gamang membayangkan hari-hari esok ditambah menanti kelahiran bayi pertama serta biayanya yang lumayan sulit jika ia carikan mendadak.
Seketika, bayangan seorang wanita hampir setengah baya melintasi ingatannya. Bu Camat. Ya, ia ingat istri camat yang baru dan cukup baik terhadapnya sejak Kecamatan Ciakayam diduduki oleh petinggi baru. Sebenarnya bukan Bu Camat itu yang baik hati, melainkan Lemanlah yang betul-betul baik hati pada istri Camat yang dipanggilnya Bu Ca.
Hampir setiap punya kesempatan, kalau tidak pagi ya sore, ia berusaha singgah ke rumah Pak Camat itu, kalau-kalau ada yang diperlukan bantuannya oleh Bu Camat. Misalnya, seperti yang sudah-sudah, membuatkan pot bunga atau membereskan taman rumah Bu Camat yang setiap hari selalu diseraki daun-daun rambutan kering yang tumbuh besar di sekitar itu. Atau lagi, menolong membersih kan kakus dan menimbakan bak mandi Bu Camat yang kebetulan orang upahannya tak datang. Juga, kadang-kadang Leman menaiki atap rumah Bu Camat dan menambal bagian yang bocor dengan aluminium yang dipanaskan di nyala api.
Semua pertolongan itu dilakukan Leman pada akhirnya dengan sikap tanpa pamrih. Sebenarnya, sekali-kali ia juga pingin dipamrihi dengan sedikit uang. Hal itu, yah, ternyata harus disesalinya. Bahkan ia pernah sempat memaki-maki dirinya lantaran suatu ketika dulu, pas pertama membantu Bu Camat mengangkat perabot rumahnya dari rumah yang lama ke rumah yang sekarang ini, Leman pernah menolak dikasih uang. Alasannya ia tulus membantu.
"Kalau Bu Ca memberi saya uang untuk pertolongan saya yang sederhana ini, berarti saya menjadi sungkan menolong Ibu setelah ini. Saya membantu tulus lho, Bu Ca," begitu kata Leman.
Ternyata, ucapan Leman itu dipegang Bu Camat. Setiap pertolongan Leman, baik diminta maupun tidak, Bu Camat cukup mengucapkan terima kasih. Sehingga, hubungan Bu Camat dengan petani upahan seperti Leman di kampung kecamatan itu dikenal baik. Bahkan Leman sempat jadi bahan pembicaraan orang kampung, bahwa ia orang dekat dengan Bu Camat, juga Pak Camat.
Hubungan baik Leman dengan Bu Camat ini, oleh sebagian orang bisa dimanfaatkan. Salah satunya Leman diminta kesediaannya membantu menguruskan KTP, biar sedikit lancar dan biayanya pun bisa renda han sedikit. Untuk sedikit hal, harga diri Leman terangkat. Leman disegani.
Tapi, pikir Leman kemudian, apakah cukup sampai berhubungan baik dengan Pak Camat dan istrinya serta dikenal orang yang punya gengsi yang tinggi seranting dibanding kawan-kawan lainnya? Leman mendadak menggeleng. Justru yang ia perlukan saat ini tidak lagi keterpandangan di mata orang-orang atau ucapan tulus terima kasih wanita yang dipanggilnya Bu Ca.
Leman meyakini, ia perlu uang. Ia perlu pamrih untuk sedikit dari sekian banyak pertolongannya yang diberikan pada Bu Ca. Kadang dalam hati Leman mengumpat, kenapa di lain kadang Bu Ca tak pernah sekali pun menawarkan ia uang. Apakah lantaran basa-basin ya pertama dulu. Atau memang Bu Ca pelit.
Leman merangkulkan tangannya ke tubuh istrinya. Ia ingat Bu Camat, ia pun punya niat untuk mendatangi Bu Camat esok hari guna memberikan gambaran, bahwa ia butuh uang banyak untuk menebus biaya kelahiran anaknya yang sedikit hari lagi. Ia, bagaimanapun, tak ingin gagal jadi suami, jadi ayah, jadi laki-laki yang ber tanggung jawab membahagiakan istrinya Salina.
***
Baru saja membantu mendorong mobil kodok Bu Camat yang sering mogok itu, Leman disuruh Bu Camat menimba sumur yang kemasukan bangkai kucing.
"Tolong benar ya, Man, ya! Airnya sudah busuk. Entah siapa yang memasukan kucing ke sumur," kata Bu Camat pada Leman.
Leman cuma mengangguk. Dalam hatinya ada sedikit cahaya harapan. Berarti, ia tidak akan merasa segan atau malu minta atau minjam uang ke Bu Camat untuk persiapan biaya istrinya bersalin karena sudah diawali dengan bekerja.
Seharian sendiri Leman menimba sumur yang tak terlalu dalam itu. Pas menjelang senja, ketika semburat jingga membiasi langit, kerja Leman selesai. Cukup melelahkan juga.
Kini ia menunggu waktu yang tepat menemui Bu Camat guna menyampaikan niat hatinya. Hari ini ia harus berani meminjam atau minta uang pamrih ke Bu Camat agar pas anaknya lahir ia tak terlalu pusing membawa bayinya pulang.
Baru saja Leman menghadap Bu Camat, sekitar enam orang wanita Dharma Wanita datang bertamu. Kesempatan Leman untuk mengungkap kan keinginannya tertunda. Terpaksa ia harus menunggu. Tapi, pas magrib usai, ibu-ibu Dharma Wanita kecamatan itu belum juga pamit. Leman gelisah.
Akhirnya Leman pamit hati-hati pada Bu Camat.
"Terima kasih Man, ya! Besok bantu saya perbaiki dapur, ya?!" kata Bu Camat. Leman mengangguk dengan senyum yang dipaksakan semanis mungkin.
Sesampai di rumah, Leman tergagap. Adiknya, Ican, mencegatnya di pintu dengan kabar yang menyengat perasaannya.
"Ilin dibawa ke bidan. Ia mau melahirkan tampaknya," kata Ican.
Bergegas Leman ke rumah bersalin. Karena kebetulan istrinya sedang di ruang persalinan, Leman duduk termangu di kursi tunggu dengan didamping mertuanya.
"Mudah-mudahan anak dan istrimu selamat, Man," kata mertuanya. Leman tak menjawab, ia cuma membiarkan debar-debar yang menguasai wilayah dalam dadanya. Ia tak tahu mesti bagaimana cara mendapatkan uang. Saat ini, harapannya cuma satu. Minta bantu pada Bu Camat yang selama ini sering memerlukan tenaganya untuk banyak hal pekerjaan.
"Uang untuk menebus istri dan anakmu pikirkan juga, Man," bisik mertuanya seret. Leman mendegup ludah.
Uang? Ah, kepala Leman terasa mau meledak. Ia tak paham, bagaimana caranya mencari uang yang gampang saat ini. Padahal, jauh hari, ia telah berusaha mencari uang dan ingin menabungkannya, namun selalu saja apa yang didapat Leman pas untuk kebutuhan hari-hari. Jika pun pendapatan hariannya lebih dari biasanya, senantiasa saja ada keperluan mendadak yang mesti dituntaskan dengan uang.
Di dalam benak Leman, bermain tangis bayi, sorot mata istrinya yang lemah, yang cenderung menyiratkan kepahaman dan kearifan akan tanggungjawab besar yang ditanggung suaminya Leman.
Dalam kekalutan itu, seorang bidan ke luar, menemui Leman dan mertuanya. Ternyata, mengabarkan bahwa Salina tinggal menunggu waktunya. Paling cepat akan melahirkan sekitar tiga jam lagi. Sekarang baru jam delapan malam. Bulan sabit bersinar di langit, lemah.
Dengan membunuh kegelisahan di hati, Leman membangun harapan baru. Bu Camat, ya Bu Camatlah yang mesti ditemui malam ini juga. Ya, sebelum rasa letihnya menimba sumur tadi siang hilang.
"Saya permisi dulu, Bu. Ke rumah Bu Camat, cari uang. Mudah-mudahan dapat pinjaman atau diberi tulus untuk kebaikanku meno longnya selama ini," begitu kata Leman. Ah, tiba-tiba Leman merasa batinnya gonjang-ganjing. Ternyata, pikir Leman, ia mesti tak bisa tanpa pamrih. Keadaan mendesak.
Leman meninggalkan rumah bersalin. Bergegas ia menuju rumah Bu Camat. Suara jangkrik di bawah sinar bulan, menambah kalut pikir annya.
Sesampai di rumah Bu Camat, napasnya terengah. Bu Camat mempersi lahkan duduk.
"Ada kabar apa, Man?" tanya Bu Camat.
"Begini Bu, saya dalam kesulitan," suara Leman sedikit gagap. Bu Camat tersenyum.
"Maksudmu, tidak bisa bantu memperbaiki dapur saya besok, gitu, kan?"
Napas Leman tercekat.
"Bukan, Bu. Saya, saya...."
"Apa kamu ada kerja lain besok?"
"Tidak, Bu Ca. Cuma, saya ada kesulitan hidup. Maksud saya istri saya sedang butuh tanggung jawab saya?" Bu Camat tertawa. Ia geleng-geleng kepala.
"Leman..., Leman. Ngomong yang jelas, dong. Terus terang saja. Tanggung jawab apa?"
"Begini Bu Ca. Istri saya sedang di rumah bersalin. Mau melahirkan. Jadi, saya butuh uang untuk itu. Untuk biayanya!"
"Ya, jelas, dong butuh uang," sambut Bu Camat masih santai. Hati Leman mendadak tak tenteram melihat Bu Camat yang tak arif dengan kondisinya saat ini.
"Mhm, Bebg..., begini Bu Ca. Saya mau pinjam uang Bu Ca untuk biaya bersalin istri saya...." ucap Leman plong. Kening Bu Camat mendadak ia lihat berkerut di bawah sinar lampu. Kerutan kening Bu Camat membuat jantung Leman seperti lari tak karuan.
"Bisa, kan Bu?"
Bu Camat cepat tersenyum, menjadi ramah seketika. Hati Leman berbunga sedikit.
"Aduh, gimana, ya? Kamu sih, Man, terlambat. Barusan saja saya bantu Dharma Wanita untuk lomba bayi sehat. Mereka datang ke sini tadi jemput uang. Duit lain sih ada. Tapi, kegunaannya pun sedang ada. Dua anakku kan kuliah di Jakarta. Duit itu mesti segera dikirimkan ke mereka. Kasihan kan kalau biaya kuliah mereka terlantar, juga uang kostnya? Lain kali saja ya, Man, ya?" kata Bu Camat. Leman tak menyahut. Hatinya perih. Ia teringat kerjanya untuk Bu Camat selama ini. Mendadak ketulusannya seperti ternoda. Ia ingin menangis, tapi tak mungkin. Calon bapak itu mesti tegar, hibur Leman.
Akhirnya Leman pamit. Ia masih berusaha tersenyum, walau terasa kaku.
"Man, semoga selamat, ya! Jangan lupa KB, lho?" Bu Camat menepuk bahu Leman sebelum melangkah.
"Terima kasih, Bu Ca!"
Dengan rasa kalah Leman melangkah. Ia lesu meninggalkan pekarangan rumah Bu Camat. Dalam hatinya, ia tak menduga Bu Camat akan tega tak meminjamnya uang.
Sekitar seratus langkah Leman menjauh dari rumah Bu Camat, tiba-tiba terdengar suara seorang anak kecil memanggilnya dari belakang. Ia menghentikan langkah, menoleh. Ternyata anak laki-laki Bu Camat.
"Mama suruh kembali ke rumah sebentar. Ada yang lupa!" kata anak Bu Camat. Leman mengernyitkan kening. Mendadak ada secercah sinar mengapung di matanya. Mudah-mudahan hati Bu Camat tergugah bela kangan, dan bersedia meminjamkannya uang.
Dengan harapan baru Leman melangkah kembali ke rumah Bu Camat. Di hadapan Bu Camat yang sedang tersenyum, jantung Leman berdebar lagi.
"Ada apa, Bu?" Leman pura-pura bingung, tapi mendung di wajahnya tetap nampak.
"Aduh, ada yang lupa. Itu lho, soal dapur saya. Kalau nggak bisa besok memperbaikinya, lusa saja, ya. Saya tunggu, lho kesediaannya membantu perbaiki dapur," ujar Bu Camat santai. Menden gar itu, jantung Leman bagai mau lepas. Ia tarik napas dalam- dalam. Batinnya menangis, Bu Ca tak berperasaan.
"Insya Allah, Bu Ca!" jawab Leman, lalu membalik. Ia melangkah makin lemah dari yang tadi. Di kepalanya: terbayang kehidupan yang gemetar. Seorang istri, seorang bayi di kepala Leman tiba- tiba menjelma sebuah pisau yang menghunus tajam ke ulu hatinya. ***
Padang, April 1995
Dimuat Tabloid Nova