Hujan deras baru saja berhenti. Istriku, Ruth, masih membiarkan jendela kamar kami ternganga. Di seberang jendela, aku melihat -- mungkin seperti halnya juga Ruth-- sebatang mahoni besar berdiri kaku kedinginan.
"Tutuplah jendela itu, Ruth," pintaku.
Ruth seperti tak menghiraukan suaraku. Ia seakan mematungkan diri di belakang jendela. Kemudian samar-samar kulihat ada yang mengalir dari sepasang mata Ruth.
"Jika kau terus bersikeras untuk berlama-lama di situ, kau tak akan pernah lepas dari kesedihan yang mendalam, Ruth," aku mende katinya, merangkul dari belakang.
Setelah kucoba menyisihkan beberapa helai rambut Ruth yang tumpah di kening dan menghapus air matanya, kesunyian terasa menyungkup tiba-tiba. Mata kami pun mengarah pada satu arah, beberapa meter dekat pohon mahoni yang beku dan rimbun. Di situ, ada sebuah makam mungil yang masih sangat baru. Nisan kecil berwarna biru terhampar di depan mata kami. Tiba-tiba aku menjadi turut hanyut ke dalam apa yang sesungguhnya dirasakan Ruth istriku.
Sebulan lalu, anak pertama kami yang baru berusia empat tahun mati masuk sumur. Aku dan Ruth sangat menyesali diri, karena begitu lalai menjaga anak dan kenapa tak pernah terpikirkan untuk memberi sumur itu pagar.
Tanpa disadari, air mataku pun merebak. Aku yakin, Ruth pun sangat tidak mengerti apa yang mesti ia ucapkan padaku dalam keadaan begini, seperti halnya aku kebingungan memilih kata-kata yang mampu menghiburnya.
"Mudah-mudahan Favalda tidak kedinginan di situ," lirih Ruth menyebut nama anak kami seraya menunjuk ke sebuah makam mungil di seberang jendela.
"Tidak, Ruth. Kalau Favalda kedinginan, tangisnyanya pasti akan kita dengar di sini," jawabku selirih ucapan Ruth.
Ruth kulihat tersenyum, sinar matanya tiba-tiba berubah lain dari apa yang pernah kulihat.
"Nah, kau tak sedih lagi, kan, Ruth?"
Ruth menatapku dalam-dalam, kemudian menggeleng, tersenyum, setelah itu tertawa sekuat-kuatnya. Sekuat-kuatnya.
"Tidak aku tidak sedih. Aku sangat bahagia sekali....
"Ruth!"
***
Keesokan harinya,dan hari-hari selanjutnya kesedihanku ternyata tidak semakin berkurang. Aku kehilangan Ruth yang sesungguhnya. Aku kehilangan istriku yang sebenarnya.
Ruth hanya tampak hidup secara lahir, selebihnya serupa mati. Hari-hari berlalu bagaikan angin yang bertiup memeriahkan hati. Aku mulai mencuci pakaian, menyedu kopi dan masak nasi sendiri. Ruth tidak bisa apa-apa lagi, kecuali ngomong sendiri, tertawa sendiri di kamar.
"Kau selalu pulang kerja tengah malam. Padahal, padahal...., Favalda tadi sore minta diajak jalan-jalan. lihat tuh, ia terti dur sendiri menunggu kau pulang," kata Ruth padaku aneh seraya mengelus-elus bantal guling.
"Sore tadi Favalda rewelnya minta ampun. Ia meminta aku membikin kan mobil-mobil dari kulit jeruk bali. Kau tahu di mana kudapat jeruk bali itu?"
Aku hanya menggeleng lemah sambil menatap matanya yang seakan semakin kosong melompong.
"Ha...ha..., ha, aku mencurinya di ladang Pak Bong. Lalu, sesampai di rumah, cepat-cepat kubuatkan mobil-mobilan untuk anak kita ini." Ruth terpingkal-pingkal.
"Lihat, lihat ini! Bagus, Kan?" Ruth memperlihatkan sandal jepit kepadaku, katanya itulah mobil-mobilan dari kulit jeruk bali.
"Oya, aku mau bikin susu untuk Favalda. Kau jaga Favalda sebentar, siapa tahu ia terbangun atau digigit nyamuk," Ruth cepat-cepat menyelimuti bantal guling itu dan menciumi ujungnya, lalu bergegas ke luar kamar dan meninggalkan aku yang tak mampu ber buat banyak atas apa yang telah terjadi dalam diri Ruth.
Sepeninggal Ruth aku mendesah berat. Ada yang menyesak di rongga dadaku. Perubahan demi perubahan makin hari makin terasa betapa Ruth begitu sangat terpukul akibat kematian anak kami. Apalagi kepergian Favalda karena suatu yang sangat tidak kami ingini: dimakan sumur. Yah, seharusnya saat ini, Favalda sedang riang- riangnya menemani keberduaan kami.
"Aduh..., kok dibiarkan saja Favalda nangis. Ngelamun, ya? Wuh, keterlaluan." Ruth datang tiba-tiba mengejutkanku dari belakang. Aku gelagapan, tak tahu perkataan apa yang tepat untuk menanggapi setiap ucapan Ruth yang serba ngelantur.
"Sebentar, sebentar mama ambilkan susu, ya. Sama papa dulu, ya, sayang..." Ruth menyerahkan bantal guling itu padaku. Dengan seperti dungu, aku pun tak punya alasan untuk menolaknya. Tanpa kekuatan lain, kugendong juga Favalda bantal guling dengan hati sangat sedih.
Tak lama, Ruth datang dengan segelas susu.
"Pakai gelas saja minumnya ya, sayang. Favalda, kan sudah besar, hi...,hi...." Ruth serta merta memberi Favalda bantal guling itu segelas susu. Hingga akibatnya, bantal guling yang dilihat Ruth sebagai Favalda menjadi basah dan belepotan cairan putih. Seketika aku menyadari, ini harus dicegah.
"Ruth, Sudahlah! Mengucap, mengucaplah, Ruth. Ini bukan Favalda, sayang....."
Mata Ruth membesar, ada kemarahan kulihat di situ.
"Ini Favalda!" bentaknya.
"Bukan. mengucaplah, ruth. Hanya pada Tuhan, sayangku......"
"Tidak! Kau bodoh. Kau tidak lagi sayang padaku, juga pada Faval da. Kau menyisihkan kami, ya?!" Ruth memekik lalu merebut bantal guling itu dariku.
Beberapa jenak berlalu, Ruth mulai terisak. Tangisnya pun meledak. Hatiku pun luluh dan segera memeluknya erat-erat.
"Aku selalu sayang padamu, Ruth..."
***
Pagi-pagi sekali, Ruth minta aku membelikan satu stel pakaian yang katanya untuk Favalda. Ruth juga minta kau membelikan mobil-mobilan pakai baterai yang katanya juga untuk Favalda.
"Ruth, Favalda kita sudah senang bersama Tuhan," jelasku lembut. Tapi, sekuat aku memberi penjelasan bahwa Favalda telah damai di sisi Tuhan, setegas itu pula Ruth tidak pernah memahami apa yang kututurkan padanya. Bahkan ia semakin memaksaku untuk cepat-cepat ke pasar dengan cara melempari dan memecahkan segala perabot rumah.
"Oh, Tuhan, kembalikanlah istriku yang sesungguhnya," bisikku dalam hati.
Sekembali dari pasar, aku tak menemukan Ruth di dalam rumah. pertama yang kujumpai, rumah dan segala isinya bagai kapal pecah. Bahkan foto kami bersama Favalda hancur berantakan dari bingkain ya. Aku periksa setiap sudut ruangan, tak ada Ruth.
"Ruth, aku pulang membawa pakaian dan mainan untuk Favalda," seruku.
"Ruth...Ruth...Ruth. Kemarilah, aku membelikan Favalda mobil- mobilan pakai baterai. Ruth, di mana kau, sayang," suaraku bernada putus asa. Akhirnya, dengan lesu kutarok satu stel pakaian dan mobil-mobilan untuk Favalda kata Ruth itu di atas ranjang. Di luar, terdengar hujan turun perlahan.
Dengan kelesuan hati, kuseret langkah ke jendela. pelan-pelan kungangakan daun jendela itu. Pohon mahoni tampak berdiri beku ditimpa hujan. Dan, pelan-pelan kualihkan pandangan ke kuburan mungil dekat pohon mahoni itu: oh Tuhan, Ruth ada di situ.
Sesaat lamanya aku tercenung, kemudian tersentak hebat. Ruth kulihat mencongkel makam Favalda dengan sepuluh jarinya seraya menangis kuat-kuat.
Tanpa pikir panjang, aku cepat meloncati jendela. Kuburu Ruth yang terus menggali gundukan tanah pemakaman Favalda.
"Jangan, Ruth!" teriakku.
Di bawah siraman hujan, Ruth menangis, lalu tertawa. Aku pun merampas kedua tangan Ruth, menyeret jauh dari apa yang telah ia lakukan.
"Lepaskan!" Ruth meronta-ronta. Tubuhku basah kuyup, seperti halnya juga Ruth.
"Jangan Ruth!" Kali ini dengan kasar aku menyeret Ruth menjauh dari makam anak kami, Favalda. Ruth terus meronta semakin sekuat tenaga.
"Lepaskan, lepaskan...aku melihat Favalda kedinginan dan memang gil-manggil mama..." ***
Padang, 15 Mei 1994
Republika, Minggu 17 Juli 1984