DAUN bambu kering berserakan di belakang rumah. Sekali angin kencang, daun-daun kering panjang itu bergulungan cepat sekali, berpindah tanah tempat terserak. Dan, ketika sore tiba, matahari makin merendah di bagian barat; Mak Surti menyapu pekarangan itu lambat-lambat. Rambutnya yang sepertiga tinggal hitam itu digu lungnya, sehingga sedikit tampak leluasa menggerakkan sapu lidi.
Kryiiit!
Pokok bambu bergesekan, Mak Surti menghela napas dan menegakkan kepala sesaat dengan mata memandang ke sebuah lubang di mana daun-daun bambu kering itu nantinya ditumpuk untuk kemudian dibakar.
"Amak sudah gaek betul, jangan banyak kerja," mengiang kata harapan tersebut di telinganya. Ingatannya melayang pada si Buyuang, anak bungsunya yang kini sedang merantau ke Jakarta. Orang Minang menyebut maadu untuang ka tanah Jawa. Mengingat Buyuang, mengenang semua itu, seketika matanya terasa dimasuki pasir dan mengerjap-ngerjap: cepat-cepat Mak Surti menghapus air yang tiba-tiba menetes dari puncak hidungnya dengan punggung tangannya yang keriput.
Kembali pokok bambu berkrenyit, seperti menggesek-gesekkan hidupnya, Mak Surti seraya menahan sesuatu yang mengganjal di hatinya menggerakkan kembali sapu lidinya. Betapa kini ia selalu merasa taragak --rindu-- pada si Buyuang dan merasa sangat kesepian sekali di usia senjanya. Semua, rasa semacam itu, hadir sejak beberapa bulan kemudian Buyuang meninggalkan kampung halaman, Ranah Minang tacinto.
"Buyuang malu hidup menganggur di kampung, Mak. Sebagai putra Minang, sebaiknya Buyuang pun meninggalkan kampung, pergi meran tau sebagai mana tradisi urang awak kebanyakan. Rasanya, di kampung ini Buyuang tak punya tantangan, justru semakin terasa menyusahkan Amak. Yah, Amak harus izinkan Buyuang merantau. Karatau Madang di ulu, babuah babungo balun. Marantau Buyuang daulu, Mak, di kampuang paguno balun," kata Buyuang pada Mak Surti tiga tahun lalu.
Ketika itu Mak Surti tak bisa berkata banyak, anak laki-lakinya itu benar. Di kampung ia memang sering melihat Buyuang sering bermenung. Ada ketidaksanggupan di hati Mak Surti untuk berpisah dengan anak bungsunya. Sesungguhnya sebagai seorang ibu yang sangat cinta pada anak laki-laki satu-satunya itu, Mak Surti tidak pernah menginginkan berjauhan dengan Buyuang. Ia merasa sangat dekat pada Buyuang dibanding pada tiga anak perempuannya. Harapan Mak Surti sebenarnya, biarlah si Buyuang tetap di kampung, merawat dirinya yang semakin uzur. Tapi, apa mau dikata, selalu saja ada dorongan lain yang sepertinya mengharuskan anak bungsunya itu meninggalkan kampung halaman.
"Biarlah si Buyuang mengadu untung, bertarung dengan nasib di rantau orang. Dari pada di kampung halaman, kerjanya tak lebih hilir mudik ke sana ke mari. Ke sawah dia sudah merasa nggak memungkinkan. Kalau terus begitu, usianya bertambah juo, bisa- bisa jadi bujang lapuk nantinya, Mak. Biarlah Buyuang merantau. Untuk merawat dan menjaga Amak, bukankah ada aku, Mariyam serta si Neli," kata Ema, anaknya yang paling tua. Mendengar itu Mak Surti hanya bisa mengangguk murung, menyembunyikan perasaan resah ketika tiga tahun lalu perkataan Ema tersebut justru mendapat sambutan hangat dari dua anaknya yang lain: Mariyam dan Neli.
Dan kini, sudah tiga tahun ia tidak melihat dan mendengar suara Buyuang. Sudah tiga kali lebaran pula ia tidak bersama si bungsu. Sudah menumpuk pula rindu di dada. Cuma yang sedikit menghibur, untunglah Buyuang selalu berikirim surat dan wesel. Dalam surat-suratnya Buyuang selalu mengatakan rindu pada Amak, semoga sehat selalu dan mendoakan agar Buyuang murah rezeki di rantau orang. Kadang-kadang Buyuang mengirimkan fotonya yang sedang berdiri di pintu toko, di mana ia bekerja sebagai pelayan. Selalu yang tak lupa oleh Buyuang, sebuah harapan agar Amaknya tidak terlalu banyak gerak untuk bekerja, mesti banyak istirahat.
Kryiiit!
Sreet..., sreet... sreeet.
Mak Surti terus menyapu, kendati yang menjejali kepalanya kini adalah si Buyuang. Yang cukup menyedihkan hatinya, dalam saat-saat tengah malam menjelang tidur. Biasanya, tiga tahun lalu, ia selalu ditemani anak bungsunya itu. Buyuang mengurutnya. Buyuang selalu setiap mendengar cerita-ceritanya yang selalu tentang almarhum Chaidir, suaminya yang arif bijaksana.
"Abakmu itu seorang yang setia pada istri, penuh pengertian terhadap anak-anaknya," kata Mak Surti, dan Buyuang tanpa menghentikan pijatannya, menjawab, "Sayang Abak telah dulu, tidak sempat melihat Buyuang besar ya, Mak."
Mengingat itu, ia pun terkenang Chaidir, suaminya, almarhum ayah di Buyuang yang mana selalu pernah berpesan agar sebagai anak-anaknya jangan sampai melalaikan shalat.
Menyedihkan memang, Chaidir, suami yang baik itu mati karena kepalanya ditimpa sebatang pohon besar sewaktu angin kencang ketika sedang membawa ternak pulang kandang. Suaminya itu seorang guru mengaji di Surau Gadang, kini telah menjadi mesjid Al- Hidayah. Mak Surti masih ingat, ketika Buyuang SD, Chaidir selalu menyediakan rotan untuk menggertak Buyuang andai malas sembahyang atau pergi mengaji ke surau.
Mak Surti mempelambat gerakan sapunya. Ia hirup udara sore sekilas, lalu berhenti sesaat. Matanya menerawang ke celah-celah pokok bambu. Angin berhembus perlahan, sesekali agak deras. Beberapa helai daun bambu yang mulai menguning, ada yang berjatu han. Satu-satu dari daun bambu pun menimpa kepalanya. Mak Surti kembali bergegas menggerakkan sapunya. Ia ingin sekali menyibuk kan diri agar tak teringat Buyuang nan jauh di mata.
Ketika tumpukan daun bambu telah memenuhi lubang yang tersedia, Mak Surti mengambil korek api. Daun kering yang sengaja ditumpuk itu pun dibakarnya. Api menyala. Sebentar saja asap yang seperti berputar liat itu membubung ke atas menembus bagian-bagian lain celah daun-daun dari beberapa pohon di sekitarnya. Derik daun dan rerantingan kering terbakar menyusup ke suasana sore yang ternya ta tak mampu membuat Mak Surti tidak teringat Buyuang.
"Nek, ada surat dari Jakarta datang. Dari Uncuy Buyuang," Mak Surti menoleh ke arah suara: seorang anak laki-laki enam tahunan telah berada di hadapannya. Anak itu cucunya.
Mak Surti tersenyum. Matanya berkaca-kaca. Ia pandang cucunya lekat-lekat.
"Surek si Buyuang? Mana, mana surat dari Uncu waang tu?" todong Mak Surti kemudian.
"Sama ibu, Nek," cucu Mak Surti itu pun balik kanan dan melangkah pergi dari si nenek. Setelah menyandarkan sapu lidii di dekat kandang ayam, Mak Surti menyeret langkahnya yang lambat dengan keadaan yang semakin menua itu.
Mak Surti menaiki tangga rumah gadang itu hati-hati. Di ruang tegah anaknya, Ema, memperlihatkan benda pipih empat persegi panjang. Dengan mata menyipit, Mak Surti memandang amplop yang bagian sudut kanan atas ada gambar Presiden Soeharto. Ema menyerahkan surat tersebut ke Mak Surti. Mak Surti menggenggam surat itu lama, sebentar saja matanya sudah berair. Ema memandang tanpa reaksi. Mak Surti menahan sesak di dadanya yang tipis.
"Tolong kau bacakan isi surat adikmu ini, Ma." Mak Surti menyodorkan surat yang setengah remuk akibat remasan tangannya itu pada Ema. "Apa kata si Buyuang. Mudah-mudahan kabar mau pulang kampung. Amak sangat rindu padanya," sambungnya serak.
Ema menyobek ujung surat. Mak Surti gelisah menanti Ema membacakan surat dari Jakarta itu.
"Kepada yang terhormat Ibunda Surti," Ema membaca kepala surat. Mak Suti menghembuskan napasnya, sedikit lega.
"Dengan Hormat. Berkat doa Ibunda serta keluarga di kampung halaman, alhamdulillah, Ananda ada dalam keadaan sehat wal'afiat. Begitu pulalah hendaknya Ibunda di kampung, senantiasa berada dalam lindungan-Nya.
Begini Ibunda, sebenarnya Ananda tahun ingin sekali pulang kam pung, berjumpa dengan Ibunda dan Kakanda Ema, Mariyam serta Neli. Tapi, apa mau dikata. Kenyataannya masih seperti tahun kemarin. Ananda mesti tetap berada di Jakarta. Mungkin tahun depan Ananda bisa pulang ke kampung.
Mengenai pekerjaann Ananda, kini tidak lagi menjadi pelayan toko Uda Syamsir. Sejak beberapa bulan lalu, berkat doa Ibunda juga, Ananda kini alah tagak surang. Artinya, Ananda sudah buka toko sendiri atas bantuan Mak Sutan orang pinggiran danau Maninjau. Dan syukur pada Tuhan, toko Ananda mulai berkembang. Makanya Ananda harapkan agar Ibunda di kampung bersabar menanti kedatan gan Ananda. Bukankah kalau Ananda berhasil di rantau orang, Ibunda juga yang akan senang, orang kampung tidak memandang kita dengan sebelah mata.
Ibunda yang tercinta, dengan datangnya kabar ini, hendaknya Ibunda bisa maklum keadaan Ananda yang berjuang mengadu nasib di negeri orang. Ananda harap, Ibunda bisa memaafkan Ananda karena tak bisa pulang kampung untuk menemui Ibunda.
Demikian saja surat Ananda. Jaga kesehatan Ibunda. Salam Ananda pada Uni Ema, Uni Neli dan Uni Mariyam serta buat keponakan- mengakhiri bacaan surat dari Jakarta itu.
"Jadi Buyuang tidak bisa pulang lagi tahun ini?" tanya Mak Surti seakan tidak yakin dengan isi surat yang dibacakan oleh Ema tadi.
"Sebaiknya Amak bersabar saja. Doakan saja si Buyuang," hibur Ema. Mak Surti menunduk. Tubuhnya terasa lemas. Hatinya berkata-kata, kenapa Buyuang tak sempat sebentar pun untuk pulang kampung. Membayangkan yang buruk, Mak Surti jadi cemas. Ia teringat dengan kebanyakan orang Minang yang merantau, setelah berhasil di rantau orang, ia sering lupa untuk pulang. Bahkan ada sampai berpuluh tahun. Juga ada yang mati dan berkubur di sana. Parahnya, banyak yang tak sempat menjenguk orangtua, terkadang kabar kematian saja yang datang.
Perasaan Mak Surti jadi tidak enak. Jangan-jangan Buyuang akan seperti itu. Ia takut sekali jika tiba-tiba suatu waktu tak bersua Buyuang lagi. Kini hanya kesepian hidup yang terasa di batin Mak Surti. Walau masih ada tiga anaknya yang menemani hidupnya di rumah itu, hati Mak Surti masih belum tenang. Karena jika dibanding degan Buyuang, ketiga anak perempuannya itu tidak lah seperti Buyuang yang selalu penuh perhatian. Buyuang seperti Chaidir, almarhum suaminya. Ia pun penuh kasih sayang.
Sementara tiga anaknya yang telah bersuami semua itu, sejak si Buyuang merantau, selalu sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Mengurus anak, juga mengurus suami. Dan rasanya wajar, jika pada gilirannya kini Mak Surti merasa kehilangan perhatian di hari tua. Ia ternyata butuh kasih sayang yang penuh dari anaknya, tapi apakah Ema, Mariyam dan Neli menyadari hal itu? Inilah yang sulit dijawab Mak Surti. Apalagi malam hari, tulang-tulangnya terasa ngilu. Pingin sekali diurut, dipijit seperti masih ada Buyuang. Hanya, karena kenyataan berubah, Mak Suti mencoba pelan-pelan mengurut dirinya sendiri dengan balsem. Mau suruh Ema, tidak mungkin. Suaminya ada yang mesti diurut sepulang membawa truk. Mariyam, kalau sudah malam selalu berada di kamar bersama suamin ya yang pegawai kantor kecamatan itu. Neli, ah, kalau sudah lepas magrib, anaknya minta ditiduri dan digendong. Cucunya, anak sekarang, isi Mak Surti, sulit disuruh memijit neneknya. Cuma, yah si Buyuanglah yang memungkinkan. Tapi, kini dia berada di Jakarta.
Senja pun merambat. Langit mulai memerah. Ema membiarkan Mak Surti menikmati kediamannya. Setelah Ema pergi, Mak Surti masuk ke kamarnya. Sebentar kemudian, ia telah keluar dengan sehelai sajadah dan mukena. Tampaknya ia segera ke surau untuk menunaikan shalat magrib.
Mak Surti menyusuri jalan kampung yang senyap. Burung-burung pipit terbang berbondong. Di hati Mak Surti hanya ada sebentuk kebekuan. Hatinya sedang kering. Ia tiba-tiba merasa tidak punya siapa-siapa. Kendati demikian, ia selalu berdoa untuk si Buyuang agar anaknya itu panjang umur, murah rezeki dan selalu bertaqwa kepada Tuhan serta punya niat membangun kampung halaman.
Beberapa langkah menjelang sampai di surau, Mak Surti menghentikan langkahnya. Jantungnya terasa lemah. Perutnya bagai dimasuki angin buruk. Matanya pun seketika berkunang-kunang, ada denyut menyucuk tengkorak kepalanya.
"Mungkin aku mulai kena pusing," bisiknya seraya memijit keningnya. Setelah agak bisa ditahan, Mak Surti melanjutkan langkahnya untuk segera sampai di surau. Berkat yakin, walau dalam mata yang sedang berkunang-kunang, kepala yang sedang berdenyut, Mak Surti sampai juga di halaman surau.
Sebelum masuk surau, Mak Surti pergi ke pincuran tempat berwudhu. Ia tampung air yang mancur dari lorong bulatan bambu pincuran. Ia basahkan muka setelah membaca bismillah. Dan, dia basahi kembali wajah yang tampak murung dan mengeriput itu. Namun, ketika angin dari arah tenggara bertiup lembut, lidah Mak Surti terasa memait. Ia pun merasakan hawa dingin membalut tubuhnya: Mak Surti menggi gil hebat. Ia berusaha untuk bertahan dan menguatkan langkah untuk secepatnya masuk surau dan berbaring di dalam. Namun, baru beberapa langkah ia tersungkur.
"Mak Surti, hati-hati," sebuah teriakan mengiringi jatuh Mak Surti. Suara laki-laki. Orang yang meneriaki barusan ternyata seorang Buya, Yakub namanya.
Mak Suti tak sadarkan diri. Buya Yakub mencoba untuk mengangkat tubuh tua Mak Surti. Tubuh Mak Surti pun dibopong Buya Yakub ke dalam surau. Sebentar saja, kebetulan orang mau menunaikan shalat magrib, telah banyak orang yang mengerumuni Mak Surti.
Seseorang mencoba mengobati Mak Surti. Setelah diurut dengan ramuan tradisional, pelan-pelan Mak Suti membuka mata. "Mana Buyuang?" tanya Mak Surti langsung. Orang yang mengerumuni Mak Surti saling pandang. Tak seorang pun menjawab.
"Panggilkan Buyuang, aku rindu padanya," pinta Mak Surti sendat.
Lagi, orang saling berpandangan. Tak lama, terdengar langkah terburu memasuki surau. Ema, Mariyam dan Neli yang datang. Ema langsung mendekati Mak Surti diikuti Mariyam dan Neli.
"Kenapa Amak? " tanya Neli.
Tak ada jawaban.
"Sebaiknya kita bawa saja Amak pulang!" ujar Ema.
"Ya, sebentar lagi orang mau shalat magrib," sambung Mariyam.
"Biar si Buyuang yang membawa aku pulang, jangan kalian atau orang lain," kata Mak Surti.
"Tapi, tapi si Buyuang kan di Jawa, Amak?
Mak Surti diam. Napasnya satu-satu. Bibirnya semakin memucat. Tubuhnya hampir dingin seluruhnya.
"Tidak apa yang bawa Mak Surti Ema, Neli dan Mariyam," sela Buya Yakub.
"Aku ingin Buyuang yang membawa aku pulang ke rumah," tekan Mak Surti. Setelah itu, orang-orang saling pandang untuk kesekian kalinya.
"Si Buyuang jauh, Amak. Dia di Jakarta," bisik Ema sambil meng genggam tangan ibunya. Tapi, apa yang kemudian dirasakannya, tangan Mak Surti telah dingin dan membeku. Dan, orang-orang terpaku sesaat melihat kepala Mak Surti terkulai dengan mata yang merapat. Tak bergerak lagi.
Bersamaan itu, Ema, Mariyam serta Neli memekik.
"Amaaak... "
Air mata pun jatuh di surau.
Magrib datang mengiringi kepergian Mak Surti yang membawa rindun ya semakin jauh terkubur.***
o Ranah Minang 1 Syawal 1413 H/Padang Akhir Maret
1993
Telah dimuat Majalah Kartini