Cerpen Yusrizal K.W.
Aku yakin betul, ibu tidak gila. Tapi, kakak-kakakku ngotot benar untuk segera memasukkan ibu ke rumah sakit jiwa. Untung aku membantah. Perilaku ibu memang belakangan agak aneh. Itu jelas terbawakan oleh ibu sejak ayah meninggal setahun lalu.
Setelah enam bulan kepergian ayah, ibu sering ngomong bahwa ayah sesungguhnya tidak mati. Ayah sebenarnya masih hidup. Ketika tiba-tiba ayah tak ada lagi di rumah, tepatnya ditanam di pemakaman umum, ibu justru mempercayai bahwa ayah dipinjam Tuhan.
"Percayalah, sebentar lagi ayah kalian kembali ngumpul bersama kita di rumah ini," begitu yakinnya ibu berkata di antara kami anak-anaknya.
Mendengar perkataan ibu itu, aku harus maklum. Ibu barangkali sedang depresi. Atau sedang berilusi macam-macam. Wajar saja kupikir.
Ayah memang sangat mencintai ibu, selain kepada kami anak-anaknya tentu. Kepergian ayah, yang mungkin sulit diterima ibu, lantaran sakit kepala sedikit saja sepulang dari ladang. Setelah dibaringkan ibu di atas dipan, ayah memejamkan mata. Lalu tak bangun-bangun lagi. Kami semua menangis setelah yakin ayah telah tiada. Cuma ibu yang kulihat bisa sedikit tabah, masih tersenyum untuk menghibur kami dengan perkataan: "Sabarlah, ayah kalian lagi menikmati ketenangan."
Sejak ayah tiada, kami memang merasa sangat kehilangan. Semula ibu biasa-biasa saja. Lama kelamaan ibu berubah. Ia sering melamun. Kemudian, dari dalam kamarnya, kami sering mendengar ibu seperti sedang berdialog dengan ayah. Seakan sedang membicarakan rencana isi ladang seusai panen mendatang. Juga terdengar ibu ngomong sambil tertawa, bagaikan barusan mendengar cerita ayah yang menurutnya lucu.
Begitulah ibu. Kami menyayanginya. Dalam kakak beradik, akulah yang paling disayangi ibu. Karenanya kalau salah seorang saja menuding ibu agak miring, akulah paling marah.
"Ibu tidak bisa lagi diajak bicara normal," kata kakak sulungku.
"Kita kehilangan ibu yang dulu rasanya sempurna," timpal kakakku yang nomor dua.
"Ya, aku yakin, ibu ada gangguan jiwa," tukas kakakku nomor tiga. Aku cuma diam saja. Kami berempat bersaudara. Laki-laki semua. Aku yang bungsu.
Dalam hatiku, aku yakin, ibu trauma. Shock. Atau apalah namanya, sejenis keterkejutan yang membuatnya seperti berada di dalam realitas yang asing.
Tapi, bagiku, kakak-kakakku salah satu penyebab ibu demikian. Betapa tidak. Sejak ayah meninggal, kakakku sibuk dengan dirinya sendiri-sendiri. Jarang bersama ibu, jarang pula menghibur ibu. Yang sulung sering pulang pagi, yang nomor dua suka ribut ketika di dalam tudung tak ada sepiring pun nasi. Sedangkan kakakku nomor tiga, dia paling sering membuat ibu mengurut dada. Ia selalu menjadi salah seorang biang kericuhan di kampung. Semen tara ladang kami yang mesti digarap sejak kepergian ayah, menjadi seperti terbengkalai selalu. Aku masih bisa tahu diri, mengolah ladang dengan sedikit ilmu bertani yang telah diwarisi ayah.
Kini, dalam diriku, ibulah satu-satunya wanita tumpuan kasih itu. Ketika malam menjelang, di luar mulai gelap, aku berusaha untuk selalu di dekat ibu. Mendengarkan apa saja cerita ibu. Bagiku, ibu jangan sampai betul-betul seperti apa yang diduga kakak-kakakku: gila.
***
Di tengah malam larut, ibu membangunkan aku. Aku sedikit terkejut. Tak seperti biasanya ibu demikian. Dari sorot matanya, ada kememelasan mengapung di sana. Mungkin ada beban yang akan ditumpahkannya padaku.
Suara anjing terdengar melolong panjang. Dingin terasa menggigit. Berarti malam tengah berembun.
"Ada apa, Ibu?"
Ibu menatapku, lalu menarik napas. Raut wajahnya kian mengeriput. Ibu tampak lebih tua sepuluh tahun dari usia sesungguhnya.
"Kau percaya apa tidak, bahwa ayahmu akan kembali di hadapan kita?" tanya ibu. Aku tergugu. Tak tahu mesti apa yang harus kujawab.
"Percaya sajalah. Ayahmu laki-laki setia, bapak yang baik," tutur ibu lagi.
Aku cuma menggubris: "Iya, Ibu...."
Lalu kesenyapan pun menyungkup. Aku menggenggam tangan ibu. Lemah. Ada daya yang kurasakan tak dimiliki ibu lagi. Tapi, aku tak tahu apa yang tengah terjadi dalam diri ibu, juga dalam diriku kini.
"Sehabis shalat subuh besok, kita berziarah ke makam ayahmu. Di sana ayahmu bersama Tuhan, menunggu kita," kata ibu setengah berbisik. Mungkin, ibu tak ingin hal demikian terdengar oleh tiga kakakku yang kian hari kian meyakini ibu betul-betul telah sakit jiwa.
Aku cuma mengangguk. Lalu menghadiahi ibu seulas senyum. Ibu membalas senyumku. Tiba-tiba kurasakan kehangatan ketika ibu memelukku, dan air matanya jatuh begitu saja.
Seraya mendekapku, ibu berkata, "Ayahmu seorang yang damai!"
***
Basah embun masih terasa ketika subuh beranjak dan aku melangkah pelan-pelan bersama ibu menuju pemakaman ayah. Di jalan, ibu selalu bercerita yang selama ini tak pernah kudengar dari ibu. Agak aneh, memang, cerita ibu terhadapku. Tapi, aku tetap menganggap cerita seorang yang waras.
"Nanti, ketika jumpa ayahmu, kau bisa cerita apa saja tentang kakak-kakakmu yang malas menggarap ladang kita," papar ibu. Aku mendengar saja, terus mensejajari langkah ibu.
"Padahal ladang kita, juga ladang-ladang beberapa orang kampung ini akan menjadi jejeran rumah-rumah mewah. Dan kita tak lagi bisa berladang, karena harus terpaksa menerima ganti rugi untuk pembangunan itu," jelas ibu.
Mendengar penuturan yang barusan, aku terkejut. Terbayang olehku mesin atau alat-alat berat yang mendatarkan beberapa sawah dan ladang-ladang di kampungku. Lalu, melintas pula sebuah panorama rumah yang megah yang cuma bisa dihuni oleh orang-orang yang berduit banyak. Kaya.
Ingatanku langsung hadir pada ladang peninggalan ayah. Ladang itu diharapkan ayah untuk tumpuan bagi kelangsungan hidup kami sekeluarga. Ayah sangat marah jika ada yang mengganggu ketenteraman wilayah peladangan kami. Dulu, ayah pernah menggagalkan pembangunan real estate di kampung kami bersama beberapa warga kampung. Ia memburu orang-orang yang sedang mengukur-ukur tanah serta pengusaha dari Jakarta dengan golok terhunus.
Kini ayah telah tiada. Bau bunga kamboja menyergap lubang hidungku. Aku dan ibu telah masuk ke lokasi pemakaman. Dari sekitar lima belas langkah, aku dan ibu sudah dapat melihat dengan jelas kuburan ayah yang bersih. Ibu selalu merawat makam suaminya itu.
Ketika langkahku bergerak sedikit lebih cepat, tiba-tiba ibu mencekal tanganku. Aku terhenti mendadak, menoleh ke ibu yang berjarak selangkah di belakangku.
"Ada apa, Ibu?"
"Tunggu sebentar," sahut ibu seraya menarik napas. Sementara matanya kulihat mengarah ke makam ayah. Lalu lambat-lambat, ibu merangkulkan tangan kirinya di pundakku. Tangan kanannya terangkat searah dada, menunjukkan telunjuknya ke arah makam ayah.
"Lihat, ayahmu sedang berdiri menunggu kita," ibu tersenyum. Aku menatap ke arah ibu menunjuk. Tak ada ayah kulihat di sana. Ibu betul-betul terasa makin aneh. Bukan gila, tentu.
"Kau melihatnya, bukan?"
"Tidak, Ibu?"
"Ah, jangan pura-pura, kau. Itu ayahmu, ia menunggu kita," kata ibu sambil mulai melangkah lagi. Aku menurut saja ke mana ibu bergerak. Sekitar tujuh langkah di depan makam ayah, ibu mengajakku berhenti lagi.
"Oh, ayahmu terlihat sedang gusar. Lihat, ah, ia tahu kita datang. Ayo, ucapkan salam pada ayahmu!" perintah ibu. Aku diam saja. Berkali-kali ibu menyuruhku mengucapkan salam, aku tak mematuhinya karena aku betul-betul tak melihat ayah berada di situ.
"Ibu, mengucaplah! Tak ada ayah di situ. Ini pemakaman, Ibu. Bukankah kita cuma ingin berziarah, Ibu?"
Ibu membelalakkan matanya padaku. Aku kecut juga. Akhirnya kuucapkan maaf pada ibu.
"Kau betul-betul buta. Ayah kandungmu sendiri tak nampak olehmu!" ibu setengah membentak. Aku seketika menjadi sedih. Betulkah ada yang berubah dalam diri ibu, Tuhan?
"LIhat, ayahmu mengangkat tangannya. Kau menampaknya, kan?"
Cepat-cepat, walau gugup, aku mengangguk. Ibu tersenyum. Lalu, aku terpaksa mengikuti ibu seperti apa adanya. Tetap memandang ke arah makam ayah, dan terus mendengarkan ciloteh ibu tentang apa yang dilihatnya di depan mata 'aneh'-nya itu.
"Ah, ayahmu sedang mengacung-acungkan cangkulnya. Ia sedang marah. Ia terlihat sedang mengancam orang-orang yang akan membangun perumahan mewah di ladang kita itu. Wah, ayahmu betul-betul. Ia tampak beringas. Sebaiknya jangan kita ganggu dulu. Kita berdiri saja di sini dulu. Ayahmu sedang mau mengamuk. Lihatlah, cangkulnya teracung-acung ke udara, siap dihunuskan ke kepala orang-orang yang akan membangun perumahan mewah di atas ladang kita dan orang kampung kita," ibu terus ngomong. Aku tak bisa berbuat banyak. Omongan ibu melancong ke sana ke mari.
Makin lama omongan ibu semakin melemah. Lalu, tubuh ibu kurasakan dingin. Ibu menggigil. Ia minta didekatkan ke makam ayah. Aku mematuhinya. Di dekat makam ayah, ibu berkata lemah, "Kalau ladang kita dijadikan perumahan mewah, ganti ruginya, walau banyak, akan tetap membuat kita menderita. Kita telah terbiasa dengan kehidupan yang berbau tanah itu." Lalu hening. Mata ibu terpejam. Aku menggoyang-goyangkan tubuh ibu. Ibu tetap tak bergerak. Kupegang nadinya, masih berdenyut. Ibu berarti pingsan. Kucium kedua pipinya. Kubopong ibu pulang. Sepanjang jalan orang- orang melihatku membopong ibu, tapi tak ada yang berani bertanya atau ingin mmembantu.
Sesampai di rumah, ketiga kakakku sedang asyik minum kopi. Mereka tidak terkejut melihat ibu kubopong. Bahkan, mereka menyalahi aku dengan dugaan yang salah.
"Orangt ua kok dibawa olah raga pagi. Menganiaya saja kerjamu!" kata kakak sulungku. Aku tak menghiraukan. Tubuh ibu kubaringkan di atas dipan. Ketiga kakakku santai saja. Sejak ayah tak ada mereka seakan raja di rumah.
Sebentar kemudian, beberapa orang kampung mendatangi rumah kami. Salah seorang di antaranya terdengar ngomong dengan kakak sulung ku.
"Ladang-ladang dan sejumlah petak sawah di kampung kita ini akan dijadikan perumahan. Atau, namanya, kalau aku tak salah real estate."
"Termasuk yang punya kami juga?" tanya kakak sulungku.
"Iya. Mereka akan ganti rugi, tapi...."
Aku cepat-cepat menutup kedua lubang telingaku. Yang jadi perhatianku kini adalah ibu. Sebelum aku mencari obat untuk menyadarkan ibu, aku memeluk ibu erat-erat. Kupejamkan mataku, kucium kedua belah pipi ibu lekat-lekat. Air mataku mengalir, di dalamn ya hanyut bayangan ayah. Ayah kulihat, seperti yang ibu ceritakan berdasarkan penglihatannya di pemakaman tadi. Ayah marah-marah dan mengacung-acungkan cangkulnya ke arah orang-orang yang akan membangun real estate.
Berat rasanya melepaskan pelukanku terhadap ibu. Ibu semakin menderita kulihat. Ibu semakin sunyi kurasakan.
Dengan sebuah bisikan, kukabari ibu lebih awal: "Pembangunan perumahan mewah itu, Ibu, telah menciptakan pisau yang dingin yang melebih tajamnya cangkul ayah yang selalu diasah ketika beliau masih hidup!"
Selebihnya, aku mendengar kakak-kakakku akan menyetujui ganti rugi tanah ladang kami.***
Padang, 15 Mei 1005
Dimuat Republika, Minggu 22 Oktober 1995