Cerpen Yusrizal K.W.
Segera tersebar berita Cilun akan bebas dari penjara. Kedai kopi Ni Piteh, yang paling ramai di pasar Kamis, menjadi tempat pembi caraan hangat tentang Cilun. Sebagai orang bagak, jagoan di pasar kecamatan itu, nama Cilun cukup berkibar-kibar bagai bendera ditiup angin sepenuh tiang.
Bahwa Cilun itu pembunuh sadis, orang mempercayai. Banyak orang berkerumun tujuh tahun lalu, ketika mayat Ujang bersimbah darah di depan kedai kopi Ni Piteh oleh tusukan pisau Cilun. Ada yang bilang, Ujang mati dengan 13 tusukan. Kenapa Ujang dibunuh oleh Cilun, tak ada yang berani memberi penjelasan. Takut, kalau-kalau salah beri penjelasan, anak buah Cilun yang masih berkeliaran di pasar Kamis akan membantai mereka. Tapi, jika pun ada yang bicara soal kenapa Ujang dibunuh Cilun, mereka paling akan berkata hati- hati, "Cilun tidak salah. Semua itu karena si Ujang sudah sampai ajal...."
Masuknya Cilun ke penjara dengan meninggalkan kesan sebagai pembunuh sadis, membuat anak buahnya yang tinggal dan masih berkeliaran di pasar Kamis, bagai berada di atas angin. Mereka menjadi raja pasar. Mereka mengharuskan pedagang membayar uang keamanan ke mereka. Jika ada yang tidak mau bayar, mereka cukup menggertak dengan bisikan, "Mau mati dengan cara si Ujang...?"
Maka, banyak pedagang, terutama pedagang sayur-sayuran yang terdiri dari ibu-ibu tua memilih jalan aman dengan memberi uang yang diminta dan ditentukan.
Ayahku salah seorang yang turut terpaksa membayar upeti ke anak-anak buah Cilun. Pun ayah salah seorang yang senantiasa dikejar rasa takut lantaran aksi anak buah Cilun sulit diduga, dan sulit dicegah. Orang tak berani melaporkan ke polisi, karena takut akan menimbulkan masalah yang lebih besar.
Suatu hari, ayahku yang punya kedai nasi di pasar Kamis, menggi gil ketakutan. Piring-piring dan gelas pecah berserakan dan meja makan patah-patah dan kursinya bertebaran sampai ke luar. Semua itu, lantaran ayah menolak memberi uang lima ribu perak yang katanya sebagai bantuan rokok bulanan Cilun yang mendekam di penjara. Karena kedai baru buka, hari masih pagi, ayah berjanji siang hari. Namun, anak buah Cilun marah dan melakukan aksinya, yang menurut ayah sangat kejam. Kejam, karena setelah kejadian itu, ayah sakit seminggu, jantungnya kumat dan harus memikirkan modal tambahan untuk mengganti kerusakan sendiri.
Kini tersebar kabar Cilun bakal bebas. Berarti, ketenteraman makin terancam. Ketakutan ayah, juga ketakutan yang lainnya. Kepada ayah, aku berkata, agar tenang menghadapi kejahatan Cilun dan anak buahnya. Ikuti saja maunya, agar aman.
Ketika sedang serius membuka kedai selepas subuh, dua orang laki-laki kekar menemui ayah. Dari kedua orang itu, kudengar mereka mengabarkan bahwa besok Cilun bebas.
"Oh, syukurlah kalau begitu...." kata ayah gugup. Namun, setelah itu, salah seorang di antaranya berkata, "Demi semakin amannya pasar Kamis ini, kami akan mengadakan acara minum-minuman sampai mabuk, menyambut hadir kembalinya Cilun. Karena itu, harus men yumbang lima belas ribu. Sebab, kedai nasi ini cukup ramai setiap hari pasarnya...."
Ayah langsung tergopoh berjalan ke laci untuk mengambil uang. Ia berikan dengan kecemasan yang disembunyikan. Aku cuma melihat dengan dungu.
Selanjutnya, aku membayangkan kedai-kedai kecil dan pedagang lainnya yang dipajaki oleh anak buah Cilun.
***
Sebagaimana setiap selesai salat magrib berjamaah bersama keluarga di rumah dengan ayah sebagai imam, kami ngobrol tentang macam-macam. Maka sampailah ke kakakku yang bernama Arsim. Kakakku yang satu itu, sudah sangat lama tidak bersama kami. Sebab, ia dianggap anak laki-laki yang salah.
Maksudku, ayah merasa jijik melihat bawaan sejak kecil Arsim. Ia suka berteman dengan perempuan, dan bertingkah perempuan. Bicaranya lemah lembut, kurang sedap didengar sebagai laki-laki. Orang kampung kami menyebutnya Arsim BG, yang maksudnya Arsim Bujang Gadis. Bencong.
Pernah ayah marah, ketika Arsim berkata kepada ibu, bahwa ia ingin jadi perempuan. Ia merasa tenteram mengenakan baju perempuan, terutama mengenakan rok. Cita-cita Arsim membuka salon di samping rumah.
Karena ayah, juga keluarga yang lain tidak setuju melihat Arsim, tiba-tiba Arsim menghilang dari rumah. Hingga saat ini, kami tidak tahu di mana Arsim berada. Pada mula-mula Arsim hilang, kami semua cemas. Hampir enam bulan Arsim dicari, tak juga bertemu. Terpaksa kami merelakannya, dalam arti jika ia bagian dari keluarga kami, suatu saat ia kembali.
"Aku rindu sekali pada Arsim...." kata ibu. Ayah menyulut rokok, dan aku menahan napas. Barangkali, kami semua rindu pada Arsim. Terbayang olehku kelemah-lembutannya, kebiasaannya berdandan, keyakinannya untuk menjadi perempuan yang baik.
"Sekarang aku baru sadar. Seharusnya dulu, ia kita biarkan saja menyusuri garis hidupnya. Sekarang aku merasa sangat tua. Jika ada dia, mungkin kedai nasi itu bisa dia yang kelola," begitu kata ayah. "Bukankah Arsim juga pandai masak...."
"Semalam aku mimpi, dia menjadi tentara...." sahut ibu.
"Ah, sudahlah. Berdoa saja, Arsim baik-baik. Kalau dia pulang, kita terima dengan apa adanya.... Mau sebagai anak perempuan, sebagai anak laki-laki, ya pokoknya mana yang baik sajalah."
Ayah beranjak ke kamar. Ibu menyusut air mata. Kebiasaan ibu adalah menangis jika ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Tak lama di kamar, ayah keluar lagi. Kali ini, ia tampak gelisah.
"Cilun besok bebas. Rasanya aku malas buka kedai nasi di pasar itu lagi...." suara ayah lirih.
"Lupakan ketakutan itu, ayah," kataku.
Hening seketika. Terbayang olehku kejadian setelah Cilun bebas. Kadang aku berdoa, laki-laki hitam, padat, tinggi dan bertato itu mati kecelakaan atau mati dibunuh oleh orang yang lebih kejam dari dia. Tapi, apa mungkin?
Akhirnya, malam itu kami penuh doa untuk terhindar perbuatan Cilun dan anak buahnya.
***
Hari ini aku tak turut bantu ayah ke kedai karena Pak Kirai dan Tek Anis kupikir cukup menolong. Aku cukup mempersiapkan diri untuk membuat lamaran kerja. Setamat STM jurusan Listrik, aku memang harus rajin pula coba-coba masukin lamaran kerja.
Baru hendak berangkat ke kantor pos, Pak Kirai datang dengan tergopoh. Wajahnya pucat. Bajunya penuh tumpahan gulai.
"Ada apa, Pak?"
"Kedai kita diamuk anak buah Cilun?"
"Apa yang mereka perbuat?"
"Menumpahkan semua isi kedai, termasuk nasi dan gulai serta lauk pauk lainnya. Gelas dan piring-piring pecah...."
"Kenapa mereka tega melakukannya, Pak Kirai...." aku gemetar.
"Si Polen, orang nomor dua di kelompok Cilun, minta ayahmu menyediakan makan siang untuk sepuluh orang di kedai sebagai jamuan datangnya kembali raja mereka, si Cilun itu. Tapi ayahmu menolak. Mereka ngamuk. Orang ramai di pasar tak mampu melerai. Beberapa orang anak buah Cilun, diamankan polisi. Tapi, beberapa saat kemudian Cilun datang. Ia membisikkan sesuatu ke telinga ayahmu. Tiba-tiba ayahmu pingsan. Kini di rumah sakit...."
Mendengar keterangan Pak Kirai aku tak bisa berbuat banyak. Ingin mencari anak buah Cilun, jelas mustahil. Cari-cari perkara. khirnya, kuputuskan, untuk ke rumah sakit melihat ayah.
***
Kudapati ayah baru siuman. Ia lemah sekali. Wajahnya pucat. Ruang serba putih membiaskan aroma kengerian. Tak satu patah pun kata keluar dari mulut ayah.
Tak lama, aku melihat ibu datang. Bersama ibu, ada seorang yang menangis. Kutatap ibu, kutatap orang bersama ibu, mengenakan kemeja kuning dan rok hitam. Cantik.
"Kak Arsim, ya...?" ujarku ragu. Kemudian, kutemukan ciri khas Kak Arsim, tahi lalat di dagu. Oh, Tuhan, ia menjadi perempuan.
Kejadian selanjutnya, ibu, Kak Arsim memeluk ayah sambil menangis. Mata ayah berkaca-kaca.
"Maafkan Arsim ayah...."
Ayah perlahan tersenyum. Kemudian kudengar suara ayah yang lunak,
"Kau begitu cantik, Arsim...."
Ibu tersenyum.
Arsim memaksakan senyum.
"Maukah ayah menerima Arsim?"
"Kau tetap anakku. Anak perempuan ayah. Jangan pergi lagi. Ayah sudah tua. Kedai nasi, kau bisa kelola, kan?"
"Sudahlah, ayah. Istirahat saja dulu," timpalku. Kami diam semua. Aku lama menatap Kak Arsim. Bukan laki-laki lagi. Juga, bukan perempuan biasa. Tapi, ah, begitulah Kak Arsim. Kok dia bisa terlihat cantik, batinku tak habis pikir.
***
Seminggu sudah kejadian buruk yang menimpa kedai nasi kami berla lu. Semua kejadian kuceritakan pada Kak Arsim. Dari sorot mata Kak Arsim kulihat kemarahan yang tertahan.
"Dari dulu sumber malapetaka itu memang Cilun dan orang-orangnya...." lirih suara Kak Arsim.
Kehadiran Kak Arsim cukup obat bagi ibu. Tapi gunjing bagi orang-orang di tempat kami tinggal. Bahwa Arsim menjadi perempuan, lebih manis dandanannya dari perempuan lain di sekitar tempat kami tinggal, salah satu yang hangat diperbincangkan. Menghadapi semua itu, kami sudah siap. Selama Kak Arsim pergi, ia bekerja di sebuah salon dan sanggar senam di kota propinsi. Pantasan bentuk tubuhnya bagus.
Seusai acara Dunia Dalam Berita di TV, Kak Arsim pinjam motor. Katanya ia mau pergi ke rumah temannya di kampung sebelah. Sampai larut malam, Kak Arsim tak juga pulang. Kami sekeluarga cemas. Jangan-jangan, pikir kami, Kak Arsim diperkosa orang jahat karena tampilannya sangat perempuan.
Gelisah menjelma semakin dalam. Minta ditemani Pak Kirai, kucoba mencari Kak Arsim dengan sepeda. Kucoba lewat ke pasar Kamis. Dari jauh kulihat kedai, ada terlihat beberapa orang di empernya duduk bergitar sambil mendendangkan lagu dangdut. Itu anak buah Cilun pasti.
Di depan kios rokok, aku bertemu dengan Pak Rus. Pak Rus menghampiriku dan berkata.
"Kakakmu yang BG itu, maksudku si Arsim, pergi boncengan motor dengan Cilun...."
"Apa, dengan Cilun?"
Aku langsung terkejut hebat. Ya, Tuhan, mimpi buruk apalagi. Dengan Cilun, batinku. Oh, alangkah malangnya kau Kak Arsim. Oh, Cilun pasti memperkosamu. Oh....
Dengan sisa kegelisahan, aku berusaha mencari keliling pasar sampai ke tempat-tempat yang memungkinkan Cilun membawa Kak Arsim. Hingga subuh, Kak Arsim tak kutemui. Aku pun pulang. Di rumah, kudapati ayah dan ibu menunggu tanpa bisa tertidur.
"Bagaimana?" tanya ayah.
Aku menggeleng.
***
Pagi-pagi kucoba lagi mencari Kak Arsim. Tapi, baru di perjalanan menuju pasar, aku melihat orang-orang berduyun-duyun menuju pasar Kamis lebih ramai dari biasanya. Ada apa gerangan.
Aku pun mengayuh sepeda lebih kencang lagi. Sesampai di pasar suara riuh, bagai lebah berdengung di telingaku. Kuparkirkan sepeda di depan kedai kopi Ni Piteh.
"Ih, ngeri. Kepala Cilun hampir putus...." kata seorang laki-laki pembawa sayur.
"Ada apa, Pak?"
"Cilun yang kemarin baru keluar dari penjara, terbunuh. Sadis...."
Aku langsung menuju ke tempat di mana orang ramai berkumpul. Kulihat petugas belum datang. Aku pun menyusup, dan melihat sebatang tubuh terkapar dengan darah berleakan di tubuhnya. Leher Cilun nyaris putus. Matanya tercongkel. Di situ, tak seorang pun anak buah Cilun terlihat.
Kini, pikiranku ke Kak Arsim. Bukankah, kata Pak Rus semalam Cilun pergi bersama Kak Arsim. Jangan-jangan, pikirku, Cilun ingin memperkosa Kak Arsim dan datang seseorang menolong lalu membunuh Cilun.
Entahlah. Pasar Kamis jadi gempar. Apalagi, kata seseorang, pembunuhan itu disertai tulisan di atas karton yang ditutupkan ke dada Cilun: Yang melanjutkan kejahatan Cilun, menunggu nasib yang sama.
Kegundahanku sulit dibendung. Di antara keramaian pasar, kudengar orang bersyukur. Ada yang berkata, "Siapa yang berani membantai Cilun ya?"
"Pembunuh mati terbunuh!"
"Semoga anak buahnya kapok!"
"Kita bisa aman cari makan!"
Cepat-cepat aku pulang. Selentingan omongan kudengar juga. Pikiranku kini adalah, keselamatan Kak Arsim.
Setiba di rumah, kutanya kepada ayah. Kata ayah, tahu-tahu Kak Arsim sudah ada di rumah. Kini di kamarnya. Mungkin ia pulang lewat dapur.
Aku langsung menuju kamar Kak Arsim. Baru saja pintu kubuka, kulihat di lantai sebuah golok bergelimang darah, juga celana panjang serta baju yang dipakai Kak Arsim semalam penuh bercak darah. Mata Kak Arsim menyorot ke aku. Ada api dan cahaya yang tajam di situ.
Aku ternganga. Kak Arsim tersenyum dingin, dan berbisik, "Harus ada yang berani mengakhirinya, dik.... Walaupun aku seorang perempuan...."***
Padang Juli 1997
Dimuat Kompas, Minggu 24 Agustus 1997