KIRANA


    Cerpen Hary B Kori’un

    "KAU datang untuk wawancara denganku?"

    Aku menatap matanya dengan tajam. Heran, dia masih tetap tegar dan mukanya tetap bersih tanpa guratan apa-apa. Hanya kelelahan yang terlihat jelas dari garis hitam di bawah kelopak matanya.

    "Aku tidak yakin ini akan menjadi sebuah berita bagimu. Tetapi jika engkau tetap ingin menjadikannya sebagai bacaan yang wajib dibaca oleh pelanggan suratkabarmu besok pagi, mulailah, tanyakanlah apa yang ingin kau ketahui. Aku yakin, petugas memberimu waktu terbatas, dan aku tak akan memberikan keterangan kepada orang lain selain engkau...”

    "Aku hanya ingin bertemu denganmu. Aku kangen," kataku datar.

    "Kadang-kadang kamu lucu. Aku tak pernah menganggap apa yang kulakukan adalah sebuah profesi yang memiliki idealisme seperti profesimu..."

    "Kita tidak harus bertengkar di sini, bukan?"

    "... aku hanya terpanggil oleh keadaan. Dan keadaan seperti ini membuat aku sulit untuk tidur atau sekedar menjelaskan bahwa aku kangen padamu."

    Aku mendekatinya. Menatapnya lagi. Kali ini aku melihat jelas matanya berair. Kuambil sapu tanganku, kuusap aliran yang sudah turun di pipi halusnya.

    "Kau selalu berpikir tentang orang lain. Kau bukan Soekarno yang bisa mengubah sejarah. Kau bukan Evita yang membuat jutaan rakyat tersihir dan terpesona. Kau hanya seorang gadis kecil yang membutuhkan perlindungan. Cita-cita Kartini hanya menempatkan wanita sama derajatnya dengan manusia lainnya, bukan menginginkan wanita menjadi raksasa..."

    Dia memelukku dan mengatakan bahwa dia tidak takut dengan semua itu.

    "Aku hanya berpikir bahwa kemiskinan adalah sesuatu yang amat menyakitkan. Dan semua orang berhak untuk hidup layak," katanya sambil terisak.

    "Tetapi engkau harus paham, sayang, bahwa ada jalan lain untuk mengubah kemiskinan itu selain jalan yang membawamu ke tempat ini..."

    **

    AKU menabraknya suatu kali ketika tiba-tiba lantai bergetar. Orang-orang di plaza itu serentak histeris. Mereka lari tak tahu tujuannya. Semua orang panik. Suara dinding berdetak 'mungkin retak' malah menambah suasana kian membingungkan.

    "Maaf, saya tidak melihat tadi."

    "Tidak apa-apa," katanya tenang.

    Heran, semua orang histeris dan panik ketika terjadi gempa sekilas tadi muncul. Tetapi dia tetap tenang ketika tanpa sengaja tubuh kami berbenturan dan barang-barang belanjaannya berserakan.

    Tanpa banyak omong lagi, aku memunguti barang-barangnya di lantai. Tidak banyak memang, tetapi membuat aku harus menahan rasa lucu yang muncul. Meski dia melarang, tetapi aku tetap memunguti odol merek lokal, sabun bayi, sampo, pewangi ruangan seperti di iklan televisi dan 'ini yang aneh' dua buku terjemahan yang asing bagiku tetapi pernah sekilas kubaca.

    "Saya tadi terburu-buru," katanya sambil tersenyum. Kulihat para pengunjung plaza sudah mulai tenang meski masih terdengan suara anak-anak menangis.

    Sesaat kemudian kuberikan keranjang belanjaannya yang tidak terlalu penuh itu. "Buku ini bagus. Saya pernah membacanya sebentar, tapi uang saya tidak cukup untuk membelinya waktu itu," kataku penuh basa-basi. Dia menerimanya dengan mengucapkan terima kasih.

    "Saya tidak suka membaca," katanya datar.

    "Lalu?"

    "Adik saya tidak bisa pergi tadi, dia titip..."

    "Nanti saya akan pinjam kepada adik Anda."

    Dia hanya menjawab dengan senyum manis, namun terlukis angkuh dan dingin meski aku melihat bentuk muka yang anggun serta tatapannya yang bagiku teramat istimewa. Aku tidak ingin menyimpulkan apa-apa. Dan ketika kemudian dia berlalu setelah mengucapkan terima kasih sekali lagi, aku hanya mengangguk sambil membalas senyumnya.

    Kami bertemu kembali tanpa sengaja beberapa pekan setelah itu di sebuah aksi demo buruh yang digelar di depan sebuah kantor pemerintah. Dia mengenakan jins ketat berwarna pudar dan kemeja lengan panjang warna putih. Dia nampak santai, berbeda dengan penampilannya ketika kami bertemu di plaza. Waktu itu dia memakai rok terusan warna coklat kayu, terkesan konservatif, tetapi anggun. Kali ini dia tidak bisa menyembunyikan dirinya bahwa buku yang dia beli di plaza itu bukan titipan adiknya.

    "Saya hanya seorang partisipan," katanya memberi alasan ketika kutanya tentang kehadirannya di acara itu.

    "Boleh saya pinjam buku yang dulu Anda beli?" tanyaku basa-basi.

    "Adik saya belum selesai membacanya. Mungkin saya harus ngomong dulu padanya," jawabnya sambil memandang tustel yang ada di tanganku.

    "Ini pekerjaan saya," kataku menjelaskan tatapan matanya itu.

    "Saya tahu..."

    "Tahu? Kita baru bertemu sekali, bukan?"

    "Saya baca tulisan Anda hari ini di koran. Saya tidak sependapat..."

    SEMUA aktifis tahu siapa dia. Namanya Kirana, sama dengan judul sebuah lagu kelompok musik yang kini amat digandrungi banyak remaja. Semestinya aku tidak sekuper itu jika aku sering ke kampus. Dia adik tingkatku di fakultas tetapi beda jurusan. Beberapa hari kemudian baru aku sadar bahwa perempuan mungil itu begitu populer di fakultas. Yang tejadi kemudian, aku memiliki semangat untuk ke kampus meski sesampai di sana aku tak tahu harus melakukan apa. Sekripsiku terbengkalai dan aku harus banyak omong kepada dosen jika menanyakan tentang itu.

    "Maafkan, saya terlambat beberapa menit. Saya tidak suka beralasan, tetapi sungguh, saya harus menyelesaikan sesuatu tadi..." katanya ketika baru masuk ruangan dan menemukanku di sudut kafe. Kami berjanji ketemu di sini ketika beberapa malam lalu aku meneleponnya.

    "Saya sudah terbiasa menunggu seperti ini. Silakan duduk, saya sudah pesankan minum tadi..." jawabku santai.

    "Tentu sudah lama sekali menunggu saya."

    "Tidak juga."

    Dia memandang asbak di meja. Dan aku tersenyum ketika dia memandangku. "Kata orang, merokok sangat tidak bagus untuk tubuh. Dan putung rokok ini menjelaskan padaku bahwa aku terlambat begitu lama."

    "Saya yang terlalu cepat datang," sangkalku. Kemudian kami tertawa bersama. Aku suka cara dia tersenyum.

    "Bukan untuk sebuah wawancara, kan?" tanyanya kemudian.

    "Apa saya punya tampang penyidik?"

    "Profesimu yang menjelaskan itu."

    Kami kemudian terlibat cerita panjang-lebar. Dia mengkritik tulisanku di koran beberapa waktu lalu. Katanya, jika pembangunan hanya melahirkan kesenjangan sosial dan kemiskinan, maka bukan salah rakyat kalau kemudian muncul gejolak di mana-mana.

    "Engkau melihat dari sisi penguasa saja seolah-olah semua pembangunan adalah penataan ekonomi semata dan untuk kesejahteraan. Saya tidak percaya kalau harga gabah naik sepuluh persen dan pupuk dua kali lipat, petani akan makmur..."

    "Pembangunan ekonomi bukan meningkatkan subsidi, kan?" belaku sambil tertawa.

    "Itu kewajiban penguasa. Masih banyak orang terbelakang yang tidak bisa menikmati pembangunan dan mereka membutuhkan subsidi. Kekayaan bangsa ini berlimpah, dan itu bukan milik beberapa orang atau kelompok..."

    "Engkau gadis yang cerdas..."

    "Nama saya Kirana. Saya orang yang banyak tidak sukanya. Tidak suka tulisanmu di koran itu. Saya juga benci dengan hakekat perjuangan profesimu yang katanya mampu merubah keadaan. Saya benci dengan kekuasaan absolut, dogma, hegemoni, eksploitasi. Saya benci kekakuan hukum, keindependenan pers yang plin-plan dan banyak lagi. Suatu saat engkau akan menyesal berkenalan dengan saya..."

    "Nama saya, engkau sudah tahu. Sebenarnya saya juga tidak suka dengan apa yang kamu benci itu. Saya hanya seorang reporter yang bekerja di sebuah suratkabar kecil dengan gaji yang tidak usah saya sebutkan. Tetapi saya menjamin, kalau untuk membayar makan dan minum kita di kafe ini hari ini, sangat cukup. Saya masih mahasiswa sepertimu tetapi tidak seterkenal kamu. Jangan salahkan profesiku, karena banyak koran yang tidak bisa menggaji wartawannya dengan layak. Kami punya keluarga yang harus dihidupi. Anak-anak kami butuh sekolah, baju baru, sepatu, sandal jepit buatan Jepang dan barang-barang lainnya seperti di iklan televisi swasta. Tetapi saya tidak pernah menyesal dengan pilihan profesi saya ini..."

    "Anakmu sudah berapa?" tanyanya di luar dugaanku.

    "Rencananya enam, sedang menunggu ibunya," jawabku sambil menatap matanya. Gadis ini memang cerdas, pikirku.

    Namun kecerdasaanya menjadi asing bagiku ketika kemudian kami dekat. Waktunya habis di pabrik, hanya sekedar ngobrol dengan pekerja-pekerja setelah jam kuliahnya. Atau, dia juga sering ke perkebunan-perkebunan di luar kota yang mempekerjakan buruh wanita. Sekali-kali dia menulis opini di suratkabar tempatku bekerja yang isinya tidak jauh dari orang kecil. Kemakmuran adalah hak seluruh rakyat negri ini..., tulisnya dalam salah satu opininya.

    ***

    KIRANA Pramithasari, 21, aktifis buruh yang diyakini sebagai tokoh di balik layar aksi kerusuhan dalam demosntrasi buruh pekan lalu, ditangkap petugas keamanan di rumahnya, Jl. Teuku Umar No. 15. Gadis berambut panjang dan berparas cantik itu mengaku tidak pernah melarikan diri setelah kerusuhan.

    "Saya tidak pernah melarikan diri karena saya tidak merasa bersalah," jelasnya kepada wartawan yang memburunya ketika akan diangkut ke mobil tahanan kemarin siang.

    Dengan memakai jins berwarna biru dan kemeja putih polos, Kirana tampak tetap tenang dan tersenyum ketika diangkut petugas keamanan dan tetap mengepalkan tangannya ke atas sambil berteriak:

    "Hidup rakyat!!"

    Aku membaca berita itu dengan perasaan tak menentu. Berita itu dibuat empat kolom di halaman depan pojok kiri bawah dengan foto dua kolom yang memperlihatkan Kirana sedang mengepalkan tangan kanannya sebelum memasuki mobil tahanan. Di samping kanan berita itu, ada dua kolom boks yang dicetak agak hitam yang memuat profil Kirana secara lengkap dan mendetail.

    Aku masih ingat persis apa yang dikatakan redakturku tadi malam ketika kukatakan bahwa aku gagal menemui Kirana dan tidak bisa menulis untuk profil itu. "Sebagai seorang jurnalis, kau telah gagal. Kau tidak bisa memisahkan antara profesi dan persoalan pribadi...”***

    Padang, 12 April 1997