Ninikariang
Cerpen Wisran Hadi
Sebuah rumah tua yang terletak di pinggir jalan raya menuju museum Puri Alam bukanlah rumah yang istimewa. Hanya ada sedikit perbedaan dengan rumah-rumah lainnya. Pintu dan jendelanya kecil sekali. Jika mau masuk harus melewati pintunya dengan membungkukkan dan memiringkan badan. Atapnya dari ijuk dan pinggirannya sudah ditumbuhi lumut. Dindingnya dari papan yang sebagian melapuk dimakan rayap.
Di halaman sebelah kanan berdiri tiga buah prasasti. Batu-batu besar pipih setinggi dua setengah meter. Sampai sekarang tulisan pada prasasti itu tidak pernah dibaca dan dimengerti apa isinya, karena perhatian orang tidak tertuju pada batu-batu dan peninggalan masa lalu. Di halaman sebelah kiri, memanjang pemakaman tua sampai ke kaki bukit diselingi pohon-pohon beringin besar. Menimbulkan suasana yang lengang dan menakutkan. Nisan-nisannya berupa batu-batu besar ditatah seperti hulu keris yang ditancapkan.
Rumah itu dihuni oleh sebuah keluarga sederhana. Seorang lelaki bisu beserta istri dan seorang anak perempuannya. Setiap hari lelaki itu membersihkan prasasti dan pemakaman. Dia sangat rajin dan suka menyendiri. Sedangkan istrinya bekerja menerima upah di sawah atau di ladang.
Anak perempuan mereka berumur lima belas tahun tapi tidak bersekolah. Punya kebiasaan cukup aneh. Pada hari-hari tertentu dia duduk di atas batu-batu besar sambil berpantun-pantun. Kaa-kata dalam pantunnya kadang-kadang terdengar asing. Apa yang diucapkannya dengan apa yang dimaksudkannya sering berbeda. Misalnya, bila dia bermaksud mengatakan "naik" tapi sewaktu mengucapkannya dia menyebut "suai". Jaid kalau dia ingin mengatakan "kenaikan", maka yang diucapkannya "penyesuaian". Begitu juga kalau dia bermaksud mengucapkan "tidak punya" maka yang diucapkannya "tuna". Atau bila dia bermaksud "minta izin" lalu dikatakannya "restu".
Pada hari-hari lain dia menghias dirinya dengan bunga dan dedaunan. Seperti layaknya hiasan anak-anak perempuan di kampung bermain penganten-pengantenan. Namun teman-teman sebayanya tetap memanggilnya "Ariang" karena bau pakaiannya tetap kurang sedap bagi hidung mereka walau sudah ditimbuni dengan semerbak bunga-bunga. Menurut seorang guru SD yang tinggal berdekatan dengan rumah itu mengatakan Ariang termasuk anak yang terlambat perkembangan pribadinya dibanding dengan anak-anak lain.
Tarajusingik yang ditugaskan memugar menganggap rumah itu sebagai rumah "awal" atau rumah "mula" dari semua rumah yang ada. Menurutnya, dari rumah yang punya ruangan tiga buah itulah kemudian berkembang menjadi Rumah Lima Ruang atau Rumah Tujuh Ruang dan Rumah Sembilan Ruang. Semakin kecil dan sederhana sesuatu bentuk bangunan maka semakin dapat dianggap lebih tua. Itulah sebabnya rumah itu dipugar agar sejarah arsitektur tidak punah. Apalagi daerah itu dikenal sebagai kawasan yang menyimpan "harta karun" budaya untuk objek wisata.
Pada setiap pembicaraan Tarajusingik selalu mengatakan bahwa selama ini orang-orang telah salah memahami sejarah. Kehidupan masyarakat yang serba suram seperti sekarang merupakan kutukan arwah raja-raja masa lalu akibat dari kesalahan itu. Kalau mau mengubah kehidupan menjadi lebih baik, orang-orang harus kembali pada kebenaran sejarah. Ariang yang selama ini tidak diacuhkan, yang disia-siakan, yang dianggap aneh, yang selalu dipermainkan anak-anak, sebenarnya adalah titisan dan ahli waris yang sah dari raja-raja masa lalu. Dia adalah "ninik" atau nenek moyang dari semua orang di daerah itu. Kalau tidak begitu, bagaimana mungkin dia punya rumah di dekat prasasti dan pekuburan raja. Jadi, jika mau memperbaiki kesalahan sejarah, Ariang tidak boleh lagi dipanggil dengan nama julukan yang menghina itu, tapi harus dipanggil "ninik". Tapi orang-orang memanggilnya "Ninikariang". Sebab, kalau dipanggil "ninik" saja, sama halnya dengan memanggil harimau. Dalam hal ini Tarajusingik terpaksa mengalah.
Tarajusingik mengatakan Ninikariang punya kekeramatan dan kelembutan yang terdapat pada bagian-bagian tertentu dari tubuhnya. Jika Ninikariang sering berkata-kata yang tidak bisa dipahami, itu disebabkan karena dia bicara dengan arwah raja-raja. Jadi, bila Ninikariang berpantun atau mengucapkan kata-kata yang berbeda dengan maksud yang sebenarnya, itu berarti dia sedang bicara dengan bahasa raja-raja.
Mulanya orang-orang tidak percaya pada apa yang dikatakan Tarajusingik. Tapi mereka tidak membantah, karena tidak mau bertengkar dengan pejabat negara yang sedang bertugas. Buat apa bertengkar apalagi menantang orang-orang yang punya kekuasaan, jika pada akhirnya akan menyusahkan diri sendiri. Kalau orang lain saja mau bersusah payah membangun negeri kita, apa salahnya kalau orang itu dihormati dan jerih payahnya dihargai. Membantah kata-kata orang yang sedang membangun sama artinya dengan menghalangi pembangunan itu sendiri. Pendapat masyarakat seperti itu mungkin sudah menjadi semacam sikap hidup agar lebih aman dan tidak dikejar-kejar ketakutan. Begitu juga ketika Tarajusingik menguraikan asal muasal prasasti dan pekuburan tua itu. Mereka mengangguk-anggukkan kepala walau sebenarnya mereka tidak percaya.
Ketika sebuah keluarga datang menanyakan di mana rumah Ninikariang, orang-orang pun heran. Apalagi ketika mereka mengatakan akan berobat pada Ninikariang. Selama empat minggu berturut-turut beberapa keluarga datang minta obat. Sejak itu Ninikariang mulai terangkat namanya dan dikenal sebagai "ninik" atau nenek yang keramat. Dapat menyembuhkan orang lumpuh. Sejak itu pula ke mana saja Ninikariang pergi selalu diiringi Tarajusingik. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan orang tentang kekeramatannya selalu dijawab Tarajusingik. Ninikariang hanya mengangguk-angguk saja.
Pemugaran rumah itu sebenarnya tidak begitu lama, karena yang diganti hanya dinding, lantai yang lapuk, membersihkan lumut dari ujung-ujung atapnya, mencat jendela dan pintu serta membuat jalan yang lebar di pekarangan sampai ke dekat tangga. Tapi Tarajusingik tinggal lebih lama. Selama itu pula dia berusaha meyakinkan orang-orang bahwa Ninikariang adalah nenek moyang mereka, yang berhak menentukan peradatan dan penguasaan tanah pusaka raja-raja.
Kekeramatan Ninikariang yang begitu tiba-tiba sangat mencengangkan, terutama Mas Sam dan beberapa pemuda lainnya. Mereka tidak percaya Ninikariang seorang gadis keramat. Seorang anak terbelakang yang tidak bersekolah, tidak pernah menuntut ilmu kebatinan dan ayahnya sendiri bukan pula seorang keramat, lalu tiba-tiba menjadi keramat, bagaimana mungkin dapat diterima akal sehat. Setahu mereka, kekeramatan itu muncul semenjak kedatangan Tarajusingik. Untuk membuktikan kebenaran dari kecurigaan itu, mereka melakukan penyelidikan.
Mas Sam diam-diam mengintip apa yang dilakukan Ninikariang tengah malam kepada orang-orang yang datang berobat. Air keramat yang dapat menyembuhkan berbagai penyakit, yang katanya mengalir di tiang utama rumahnya adalah air yang datang dari dalam tanah. Mengalir dengan sendirinya pada setiap petang Kamis malam Jumat. Ternyata air itu hanyalah air biasa yang dituangkan sedikit demi sedikit oleh Tarajusingik dari atas loteng rumah. Begitu juga padi yang diminta orang-orang untuk bibit, yang katanya datang dengan sendirinya dari puncak Gunung Patah Tujuh, ternyata padi biasa yang ditumpahkan lambat-lambat dari atas loteng. Begitu juga orang lumpuh yang datang, lalu dua hari kemudian sembuh, setelah diselidiki kemudian, ternyata orang itu bawahan Tarajusingik sendiri.
Ketika hal ini disampaikan Mas Sam kepada setiap orang, Tarajusingik langsung mengancam.
"Kau jangan merusak kepercayaan yang sudah tertanam. Aku cukup berpengalaman mencongkel biji mata seseorang yang tidak kusukai," katanya tajam.
Orang-orang mulai curiga tapi penuh ketakutan. Apalagi sewaktu tiga pemuda bertubuh kekar datang dan menghajar Mas Sam sampai masam. Orang-orang tidak berani mengadukannya kepada polisi, karena Tarajusingik menyebarkan ancaman.
"Jika ada yang berani membuat keributan, yang dapat menimbulkan keterlambatan pemugaran objek bersejarah itu, akan kuseret ke pengadilan!" Sementara orang-orang diam dalam ketakutan, Tarajusingik semakin leluasa berusaha meyakinkan masyarakat tentang kekeramatan Ninikariang. Beberapa orang yang disuruh Tarajusingik berobat kepada Ninikariang harus menyebarkan cerita tentang kemangkusan pengobatannya.
Rumah itu pun semakin hari ramai menjadi tempat persinggahan. Di sana mereka duduk-duduk, istirahat di bawah pohon beringin yang rindang. Kemudian mencoba-coba nasib dengan tidur di atas batu "peruntungan". Menurut Tarajusingik, siapa yang sempat tertidur di atas batu peruntungan itu beberapa saat, apa yang diinginkan akan dikabulkan oleh arwah raja-raja. Terutama bagi wanita muda yang ingin mendapat suami berpangkat tinggi dan kaya atau mereka yang ingin punya anak. Dengan semakin ramainya orang-orang singgah, maka secara resmi sudah ada dua tempat wisata di daerah itu. Puri Alam sebagai museum yang berisi "benda-benda bersejarah" dan rumah Ninikariang sebagai "istana raja" yang mengandung nilai arsitektur tinggi.
Mungkin karena Ninikariang selalu ditekan dan digiring agar yakin pada diri sendiri sebagai titisan dan ahli waris raja-raja, sementara dia sendiri hanyalah seorang gadis kecil biasa yang sering terlambat datang bulan, lama kelamaan sikap pribadinya pun berubah. Seumpama anak-anak yang hanya mampu mengangkat beban dua kilo, lalu dipaksa mengangkat beban seratus kilo, tentu saja berakibat buruk pada kesehatan dan kejiwaannya. Jika dulu dia masih terlihat bermain seperti kanak-kanak, sejak namanya ditambah dengan kata "ninik" menjadi Ninikariang, dia pun berlaku seperti seorang nenek. Kadang-kadang berjalan terbungkuk-bungkuk dan suaranya dibuat terdengar parau sebagaimana suara orang tua-tua.
Tiba-tiba Ninikariang hamil. Semua bisik-bisik tentu saja ditujukan kepada Tarajusingik. Tapi siapa yang berani menuduh secara terus terang? Siapa? Mau hidup selamat atau mau pingsan dipukul seperti yang dialami Mas Sam? Tarajusingik sendiri yang juga mendengar desas-desus itu, setiap hari datang ke warung-warung meyakinkan orang, bahwa kehamilan itu adalah kehamilan sejarah.
"Dalam legenda juga kita temukan kehamilan seperti yang dialami Ninikariang sekarang. Raja perempuan dari kerajaan di sini dulu juga hamil dan melahirkan seorang putra mahkota tanpa diketahui siapa ayahnya. Kemudian baru diketahui bahwa ayahnya orang suci dan keramat yang datang dalam mimpi raja perempuan itu setiap malam," katanya dengan tenang. "Dalam putaran waktu tertentu sejarah berulang kembali. Mungkin putaran sejarah itu sampai kepada Ninikariang. Kehamilan Ninikariang ini dapat disebut sebagai kehamilan sejarah," lanjutnya.
Tiga tetua kampung yang juga ikut mendengar penjelasan Tarajusingik hanya mengangguk dan tersenyum kecil menahan diri. Tapi setelah Tarajusingik pergi dari warung itu, salah seorang dari tetua itu naik ke atas meja dan berteriak sekeras-kerasnya melampiaskan kekesalan.
"Urang gilo baladiang!" teiaknya dalam bahasa daerahnya. Semestinya, sebagai seorang tetua dia tidak boleh berbuat seperti itu. Tidak sopan. Tapi terpaksa dilakukannya karena tidak dapat menahan kejengkelan terhadap persoalan yang dihadapi.
"Maaf, tidak sepantasnya aku berbuat seperti tadi. Tapi ...," kata tetua itu tersandar di tiang bambu sambil meninju dadanya sendiri tiga kali.
Ibu Ninikariang, perempuan desa yang selama ini tidak suka berkeluh kesah, setelah melihat perubahan yang begitu besar terjadi pada anaknya, dia menemui Bundo, perempuan yang dikenal berwibawa dan bijaksana.
"Entah di mana salahnya, Bundo. Anak gadisku sampai begitu. Satu-satunya anakku, tiba-tiba berubah jadi gila dan hamil pula," katanya tersedu.
Bundo terenyuh mendengarnya. Mestinya Bundo menyesali, kenapa membiarkan anaknya dijadikan "ninik" oleh Tarajusingik. Digiring kepada sesuatu yang tidak dipahaminya. Tapi, Bundo hanya diam saja. Dia memaklumi keadaan. Seorang perempuan petani, yang tidak mengerti apa-apa tentang sejarah dan warisan raja-raja, diseret secara paksa kepada suatu situasi di mana dia tidak bisa berkutik sama sekali.
Bundo membicarakan hal ini dengan para tetua. Mereka tidak dapat berbuat apa-apa, walau tahu apa akibat yang ditanggungkan oleh keluarga malang itu. Ketika para tetua sepakat memintakan pertanggungjawaban Tarajusingik, ternyata dia sudah pindah. Konon, dia ditugaskan memugar sebuah rumah tua di negeri yang lain lagi.
Kini, Ninikariang selalu meneliti wajah orang-orang yang lewat di depan rumahnya satu per satu. Jika ada yang wajahnya mirip Tarajusingik, Ninikariang tersenyum dan menggoda. Kadang-kadang dijulurkannya lidahnya seakan mau menjilat sesuatu, sementara perutnya terus membesar.
"Ninikariang. Dalam perutmu anak siapa?" tanya anak-anak yang sering datang mengganggu.
"Raja!" jawabnya sambil menjulurkan lidahnya.
Padang, Desember 1996
Dimuat Republika, Minggu, 27 April 1997