Hidung
Cerpen Abdulkadir Linin
DARI kampung menuju
kiosnya di pasar Duya yang berjarak sekitar 10 kilometer, Masri mengendarai
sepeda motor. Di gerbang dusun Kiambang, Masri sering bertemu Farni sedang
berdiri di pinggir jalan raya menunggu kendaraan umum. Biasanya Masri menginjak
rem untuk menyilakan Farni duduk di boncengannya.
Wajar memang. Toh mereka sudah kenal lama. Bersebelahan dusun. Selain itu, jika Farni bikin baju baru selalu datang pada Wita, istri Masri yang pintar menjahit. Jika kebetulan Masri di rumah biasanya Masri akan melucu sehingga Farni terpingkal-pingkal. Maklumlah! Bukankah Masri itu pedagang? Penghuni kios yang tiap hari berhadapan dengan macam-macam lapisan masyarakat. Sejak yang bersafari dengan kancing baju agak besar yang memasuki kiosnya sambil bersiul kecil dengan kedua tangan saling berpegangan di belakang pinggang sambil mendelik-delik karena tidak satu pun barang terpajang itu disukainya: semua murahan!, sampai pada orang gugup bersandal jepit kumal yang malu-malu dan ragu menanyakan harga barang yang disukainya. Cemas kalau-kalau harga barang itu tak terjangkau kantung. Lantas si pedagang marah. Malu, kan?
Dari pengalaman 25 tahun menjadi kutu pasar - sejak dagang di kaki lima sampai mampu mengontrak kios kecil ini - Masri beranggapan; meluculah senjata terampuh pemecah kebekuan tatkala pertama kali orang menginjak kiosnya.
Salah satu lelucon Masri yang lekat dalam ingatan Farni adalah ketika tentara menangkap ular di Air Mancur, lalu diletakkan di depan kantor Koramil dan didatangi orang beramai-ramai. Seratus rupiah bagi yang ingin melihat dari dekat. Moncong ular besar itu terikat rajut.
"Eh, Farni, sudah lihat ular?"
"Belum Bang. Besar ularnya?"
"Aduh, bukan main besarnya!"
"Berapa meter?"
"Bayangkan saja, di depan kantor Koramil orang memegang kepalanya. Di Sulaing orang memegang ekornya..." (jarak Koramil-Sulaing 2,5 kilometer).
Farni terkekeh-kekeh sementara Wita menyeringai. Muak! Berpuluh tahun disuguhi banyolan konyol seperti itu.
"Iya, ya. Di Koramil orang pegang kepalanya sendiri. Di Sulaing orang juga pegang ekornya sendiri... hehehe... Macam-macam saja!"
"Yah, mau apa lagi? Begitulah abangmu. Bikin ulah terus!"
***
MEMANG, tidak aneh jika Masri menawarkan jasa baik membonceng Farni. Celakanya setiap kendaraan angkutan umum berhenti mendadak di depan. Masri terpaksa menginjak rem secara mendadak pula. Lebih-lebih ketika melewati terminal. Terjadi berulang-ulang. Tubuh Farni terdohok ke depan menyentuh punggung Masri. Lebih celaka lagi, saat seperti itu, selalu membuat Masri merasa darah lelakinya mengalir deras ke sekujur tubuh. Bahkan kadang membuat dia tergetar. Lambat laun, setiap bertemu, tatapan mereka jadi lain. Dan saat tergetar lagi, merasa tidak mampu mengendalikan sepeda motornya dengan baik, Masri berhenti di depan lepau kopi.
"Kenapa berhenti di sini, Bang?"
Masri senyum. "Rasanya pagi ini dingin sekali. Tangan Abang terasa kaku. Mungkin kesemutan. Kita istirahat sebentar, ya? Di lepau ini..."
Mereka saling tatap, saling senyum. Lama!
Dalam lepau mereka duduk berjejer di bangku panjang menghadapi meja yang juga panjang. Masri minum kopi. Farni teh susu. Mereka memandang jauh ke depan. Melintasi rumah papan berparabola di seberang jalan. Melangkahi bukit berbunga yang jauh di belakang rumah itu. Tak sepatah pun yang terucap. Tapi mereka tidak mampu menghitung berapa banyak yang sudah dibincangkan hati mereka. Dalam diam mereka hanyut. Hanyut jauh sekali! Meninggalkan anak, meninggalkan istri, meninggalkan kampung.
Selanjutnya, beberapa kali, tangan Masri kaku lagi. Semutan lagi. Karena itu istirahat lagi; di lepau itu! Memandang jauh ke depan. Lantas hanyut!
Masri ingat film Desire yang mengisahkan Yosephine. Lantas, Napoleon juga punya kasus!, kata hatinya. Ingat koran-koran - yang dia beli dua kilo setiap pekan untuk membungkus dagangannya yang laku - yang pernah dia lahap, oceh hatinya jadi makin panjang. Bill Clinton juga punya kasus. Michael Jackson juga punya kasus. Boris Paternak juga punya kasus. Pamela Bordes melibat puluhan kasus. Marlon Brando juga punya kasus. Sekh Barsisa juga punya kasus. Mike Tyson juga punya kasus. Pak Unggul juga punya kasus. Bahkan si Mardun tukang angkat kerempeng itu juga punya kasus. Lalu? Apalah salahnya jika saya juga punya kasus!
Sampai di sana tekad jadi bulat. Mengajuk pun mulai!
"Sebetulnya ada yang ingin saya tanyakan pada Farni. Tapi saya takut Far tersinggung..."
Farni senyum. Menunduk memandangi tangan kanannya memainkan sendok mengaduk-aduk teh susu. "Apaaa..?" tanyanya, nyaris tak terdengar.
Hening. Lama. Pelan-pelan mereka saling lirik. Bertatapan dengan sudut mata. Saling senyum. Berdebar.
"Sudah berapa lama Farni pisah dengannn... hmmm..?"
"Hampir empat tahun."
"Sudah lama juga, ya?"
Farni menjawab dengan angguk kecil. Pelan sekali.
"Hmmmh... tidak ingin cari pengganti?"
"Hnghng... tidak ada yang mau."
"Kalau ada yang mau?"
Hening lagi. Lama! Farni menarik napas panjang. "Rasanya mustahil Abang suka pada Far. Tidak mungkin, kan? Apa lagi Kak Wita sangat baik..."
Masri merasa hatinya berbunga-bunga seperti dua puluh tahun silam. Rupanya masih ada yang tertarik padanya. Jauh lebih muda. Siapa tidak bangga!
Berikutnya bikin janji.
"Kalau saya ingin mengajak Farni jalan-jalan, Far sempat tidak, ya?"
"Ke manaaa..?"
"Kalau ke Bukit Musang? Melihat air terjun?"
"Ya."
"Ya. Di sana, tidak ada orang mengenal kita. Kapan?"
"Kapan ya?"
"Kapan Far sempat?"
"Kalau Selasa?"
"Ya. Selasa!"
***
SEKARANG Senin. Masri pulang cepat. Putrinya yang baru menyelesaikan semester satu mengambilkan segelas air putih dingin menggantikan tugas ibunya.
"Bunda ke mana?"
"Bunda ke kantor Kepala Desa. Kata Bunda ada keributan sedang disidangkan di sana."
"Keributan apa, ya?"
"Ani tidak tahu..." Ani beranjak ke belakang Masri yang duduk di kursi. Memijit-mijit bahu Masri. "Ayah kelihatan lelah sekali, ya?"
"Ya. Ayah lelah sekali! Itulah sebabnya Ayah pulang lebih cepat!"
Ani terus memijit. "Mudah-mudahan kuliah Ani cepat selesai ya, Ayah. Terus cepat dapat kerja. Terus Ayah bisa istirahat. Yah, sekurangnya tidak usah banting tulang sekeras... sekeras..."
Ani terkejut. Heran; mengapa bahu Masri bergerak-gerak? Sambil terus memijit, Ani menjulurkan kepala ke depan.
"Eh, kenapa Ayah menangiiis?"
Tidak ada jawaban.
Ani pindah ke samping. Sedikit membungkuk melihat wajah Masri yang menunduk disangga telapak tangan yang bertelekan siku di atas meja. "Ayaaah, mengapa Ayah menangiiis...?"
Masri mengangkat wajah. Menoleh. Senyum sementara matanya memerah. Bibirnya bergerak-gerak sementara pintu depan terkuak. Wita masuk.
"Eh, Ayab sudah puuulang," katanya sambil duduk di seberang meja. "Hah, Ayah kurang sehat, yaaa?" Wita berdiri lagi. Pindah ke belakang Masri. Meraba dahi Masri. "Agak panas. Ayo, istirahat dulu..." sambil menarik lengan Masri ke kamar.
Masri berbaring. Sejenak Wita meletakkan lagi telapak tangannya di dahi Masri. Senyum, "Bunda panggil Pak Mantri, ya...?" tanya mantan mahasiswi FPBS yang pertama jumpa Masri saat Masri berjualan buku bekas di kaki lima Jalan Sudirman dua puluh empat tahun lalu.
"Tidak usahlah. Rasanya Ayah tidak sakit. Cuma sejak pagi, entah mengapa, Ayah cuma merasa tidak enak saja."
Wita duduk di tepi ranjang. Membelai rambut Masri yang mulai ditumbuhi uban. Sadar atau tidak tangan Wita mencabut sehelai. Masri sedikit terkejut.
"Apa itu?"
"Uban!"
"Kenapa dicabut?"
"Tua kan tidak perlu dikejar. Dia akan datang sendiri. Baiknya Bunda masak apa ya, sekarang? Ayah ingin apa?"
"Hmmm... Semur. Semur saja."
***
USAI salat Isya, menjelang tidur, Masri merasa dirinya berubah. Jika beberapa hari lalu dia tiba pada kesimpulan; apa salahnya jika saya juga punya kasus! Sebab Bill Clinton, Boris Paternak, bahkan Sekh Barsisa juga punya kasus. Sekarang sekonyong-konyong dia jadi jeri dengan kasus. Ingat janji dengan Farni dia jadi gemetar. Waktunya besok lagi.
"Rupanya kemarin ada kasus seru, Ayah. Tadi disidangkan di kantor kepala desa. Bunda tidak bisa menahan rasa ingin tahu, terus bunda datang juga ke sana. Nguping!"
Menyembunyikan gundah Masri mengubah posisi. Sekarang dia telungkup di samping Wita. "Kasus apa?"
"Ayah ingat Pak Guru, kan? Pak Guru itulah yang tertangkap basah dengan Bu Fet..."
"Masya Allaaah... Tak disangka, ya. Orang yang disegani lagi. Bagaimana kasusnya?"
"Begini. Pak Guru dan Bu Fet, kabarnya kemarin dulu terlambat pulang karena mengisi nilai murid. Terus kebetulan si Mursid anaknya Bang Jusan mengintip-intip kantor. Lapor sama Mardi. Mardi terus ke lepau Simpang, bilang sama pemuda-pemuda yang kumpul di sana. Lantas mengintip ramai-ramai. Ya, apa lagi? Mereka menggedor.
"Kabarnya Pak Guru keluar dengan tegar, 'Saya memang bersalah' katanya, 'Sekarang, kalian mau memukuli saya, atau mau menembak saya, silakan! Saya memang pantas dihukum.' Itulah yang disidangkan tadi..."
"Sudah ada keputusan?"
"Sudah! Pak Guru boleh terus mengajar di sini, tapi dia harus pindah. Tidak boleh tinggal di sini. Kan kesalahannya tidak fatal. Mereka kan cuma... he hehek... Tidak sempat buka baju... he hehek... Kasihan, ya? Hehehek..." He heheknya keluar dari hidung sembari senyum.
"Ah, kok kasihan?"
"Ya! Kasihan kan? Bunda pikir begini; apa yang akan dikatakan Pak Guru pada anak-anaknya yang beranjak remaja? Apa yang akan dikatakannya pada istrinya? Betapa malunya dia! Pada masyarakat yang menyeganinya selama ini. Apalagi pada orang-orang yang pernah diberinya nasehat, diberinya wejangan! Bu Fet juga; apa yang akan dia katakan jika suaminya pulang dari Ujungpandang? Repot sekali, kan? Coba Ayah bayangkan! Barangkali itulah sebab nabi bilang; dari pada menyentuh perempuan yang bukan muhrim lebih baik menyentuh bara api. Kalau Pak Guru mencium bara api. Hidungnya melepuh. Barangkali minggu depan sudah sembuh. Sekarang? Apa pekan depan hidung Pak Guru bisa sembuh?!"
Melihat Masri diam saja, Wita mulai merangkul. "Kelihatannya Ayah letih sekali. Kita tidur, ya?"
"Ya."
Mereka berangkulan.
***
MASRI tidak menepati janjinya dengan Farni. Esoknya dia tidak ke pasar. Sakit! Beberapa hari kemudian, mendengar ribut Pak Guru gantung diri, malah Masri menjual sepeda motornya. Takut! Gara-gara sepeda motor itu hidungnya mencium sesuatu yang lebih panas dari pada bara api. Melihat Masri pulang naik sepeda dan tahu sepeda motor sudah dijual, Wita dan Ani ribut.
"Aduuuh, kenapa dijual Ayaaah...?"
"Naik sepeda lebih selamat," ujar Masri seenaknya. "Selama hidup Ayah, Ayah belum pernah dengar kabar: "Dua pengendara sepeda yang meluncur dengan kecepatan tinggi telah bertubrukan. Kepala mereka pecah akibat berbenturan dengan keras. Benak mereka berserakan. "Belum pernah ada, kan berita begitu?"
Wita menggeleng-geleng. "Aduuuh, rupanya Ayah mulai sinting lagi, ya! Padahal empat bulan belakangan ini Bunda senang sekali melihat Ayah serius. Jarang membanyol!"***