BILA kebudayaan dianalogikan, ia adalah samudera yang tidak akan puas-puasnya untuk diungkapkan kemisteriaannya. Ia penuh dengan rahasia dan arus yang multidimensional dan bahkan sulit diduga. Ia bergerak seakan tidak pernah berhenti, serta berubah seolah tidak pernah lelah. Dengan gelombangnya yang begitu garang, di saat lain ia hadir dengan gelombang yang romantik dan bersama rembulan sepanjang malam di sana.
Hanya "nelayan gila" yang hendak menduga dalamnya lautan samu dera, hendak mengungkapkan kemisteriannya, dan "mengubah" arus samudera. Bahwa dunia berubah di ujung mata penanya, di ujung kanvasnya, melaju cepat oleh kepiawaiannya mendayung kata-kata. Maka bila Umar Kayam (Republika, 9:4:1995) mengungkapkan bahwa memprediksi kebudayaan pada abad 21 adalah pekerjaan gila. Di lain pihak seakan ada gayung bersambut, kata berjawab, bila dicoba untuk dikorelasikan ia dengan sepotong ungkapan Putu Wijaya (Republika, 16:4:1995) ketika ia mengomentari pelukis Nashar bahwa sebetulnya dunia ini membutuhkan orang-orang "gila" yang berani. Ia menjadi simbol "kegilaan" itu. Hanya bedanya dalam korelasi ini ungkapan Umar Kayam untuk kata-kata gila tidak memakai tanda petik. Tentu saja maknanya sangat jauh sekali berbeda oleh karena ada tanda petik itu. Tetapi dalam wacana ini ia dihubungkan dengan tanda petik itu.
Sesaat mungkin dapat saja ada ketertegunan, ada realitas paradok sal dalam konteks, bagaimana akan diprediksi gelombang, arus, dan semuanya dari samudera kebudayaan. Karena kata-kata gila (skizo frenia) sudah berubah menjadi sesuatu yang positif. Bagaimana seorang pelukis "skizofrenia" membuat sebuah lukisan yang sedemi kian absurd, semisal Picasso atau Vincent van Gogh.
Mungkin orang akan mengatakan adalah pekerjaan "skizofrenia" bila melakukan pencurian milik seorang dewa, itulah yang dilakukan oleh Prometheus yang mencuri api (ilmu pengetahuan") dewa Zeus. Sebagaimana juga "ke-skizofrenia-nya" Dr. Faust yang menggadaikan jiwa raganya kepada iblis demi ilmu pengetahuan. Sejarah mencatat bahwa manusia-manusia yang "mengubah" dunia selalu dianggap masyarakatnya (oleh dunia) sebagai orang-orang yang sudah "skizo frenia". Seperti kata-kata Emerson:
"Is it so bad, then to be misunderstood? Pythagoras was misunder stood, and Socrates, and Jesus, and Luther, and Copernicus, and Golileo, and Newton, and every pure and wise spirit that ever took flesh. To be great is to be misunderstood. (J. Rahkmat dalam Syari'ati, 1989:26)".
Semisal teknologi, ia bukan tidak mungkin sudah berubah menjadi "binatang jalang" di tangan manusia yang sulit dikendalikan keliarannya. Ironiknya bila sempat didengar kata-kata jernih seorang bocah: "Inem, kenapa Kura-Kura Ninja, Satria Baja Hitam, dan Batman tidak datang menyelamatkan dunia ini dari tangan presiden Prancis yang seenaknya meledakan nuklir?" katanya menje lang ia berangkat ke alam mimpi. Sedangkan ibunya belum pulang kerja.
Dunia seakan dihadapkan kepada paradigma negatif yang tidak pernah murni lagi, sebagaimana apa adanya, seakan tidak terhin darkan, dan tumpang tindih. Di sini sisi tajam teknologi seakan merobek tanpa berdarah nadi kemanusiaan. Ada "totem-totem" yang hadir tanpa perlu dipersoalkan biografinya, dan sangat tidak kasat-mata sekali. Di samping ada "gergasi gurita ekonomi poli tik" yang absurd dengan negara-negara adidaya sebagai kerajaan otokrat yang megamodern.
Hakekat sejarah memang berulang, dengan semangat bagaikan seorang martir ada manusia yang "menantang" alam demi kehendak otospritn ya namun yang hadir tetap cerita-cerita tragedi, seperti laron dengan api. Masih adakah terpikir bahwa masa kini dan masa lampau akan hadir di masa depan dan hakekat masa depan terdapat di masa lampau (T.S. Eliot)?
Historikal "tiga setengah abad" bagi bangsa Indonesia, dalam satu contoh, yang seharusnya dilihat hakekatnya sebagai potongan sejarah masa lampau tetapi di saat lain ia menjadi beban psikobu daya dan bukan tidak mungkin di hari ini ia dapat merupakan trauma psiko-budaya yang "didustai". Karena hakekat penjajahan bukanlah persoalan warna kulit, etnis, dan agama, tetapi adalah perampasan, penindasan, ketidakadilan, korupsi, kolusi, dan nepotis yang dapat saja dilakukan sesama etnis, warna kulit, dan agama. Bukankah penjajahan yang dilakukan oleh bangsa sendiri lebih menyakitkan daripada bangsa lain?
Kemunculan hakekat sejarah di masa depan dengan pengertian ia sangat erat hubungannya dengan masa lampau adalah sebuah predik si. Setidaknya untuk paradigma masa depan adalah bagaimana diper lakukan (menyikapi) kekinian hari ini. Fatalnya, adalah dominannya dusta yang dipelihara bagai ternak kebudayaan yang membiak dan menjadi model spiritual sejarah. Semua mungkin dimulai dari ketidakmampuan struktur budaya disikapi hari ini secara propor sional. Sehingga prediksi hari ini hanyalah realitas dari involu si budaya pembangunan.
Ironiknya ada psikobudaya yang memperlakukan sejarah seperti film koboi dan melihat para tokohnya seperti dewa-dewa yang tidak pernah bersalah, dan memperlakukan romantik sejarah sebagaimana adegan seksual film eksen Indonesia (cf. pornografi sejarah). Maka bukan tidak mungkin menghidupi kezalim dan mendustai hati nurani bangsa (rakyat) hanyalah perkataan lain dari tradisi pascakolonialis yang penuh dengan prediksi pluralis dalam masyar akat yang semakin majemuk. Di sinilah terjadi tragedi "aurat- aurat politik" sejarah dibuka dan dihisap "sperma-kebudayaan" dalam permainan politik ekonomi pada satu permainan "oral retori ka".
Katakanlah munculnya fenomena dunia rasional diperlakukan sebagai dunia "orang gila" di tengah-tengah orang-orang yang irrasional (cf. Weber). Pada saat yang sama ada kehendak terhadap dunia kesenian diperlakukan sebagai racikan sejarah yang siap untuk "digoreng"?
Puisi, novel, esai, dan teater serta tari bersama seni rupa dan yang lainnya; dilihat dengan konstelasi yang majemuk dan mempun yai biografi yang tidak hitam putih. Maka oleh karena itu ia mempunyai dimensi yang personal sekali di tengah-tengah kolekti fitas, dan biasanya juga diiringi akan terjadi fenomana ironik kebodohan kesenian yang dihadirkan tanpa dimensi keilmuan.
Adanya mono-otoritas spiritual dalam lapisan dalam kebudayaan merupakan jiwa penggerak dari arus kebudayaan sentralisasi. Kemudian disusul oleh kehadiran puisi-puisi yang membenda dan tidak membebaskan spiritual tetapi mengukuhkan ke dalam alam materialistik. Benda-benda seni konstelasi, teater, tari, dan puisi menjadi sulit untuk diprediksikan apakah menuju kepada kematangan demokrasi atau kedewasaan pascakolonialis. Hal ini tentu tanpa melupakan sisi yang lain dan tentu jauh berbeda.
Sebab ketika dibicarakan tentang desa yang tertinggal dan fenome na kemiskinan serta seorang bocah kurus mengemis di pelataran plaza, atau seorang bocah anak seorang pedagang kaki lima kehi langan gigi dan pedengarannya akibat mencuri tas sekolah di swalayan, juga seorang gadis kecil dan ibunya dari keluarga petani diperkosa beramai-ramai, saat itu sesungguhnya kita bicara tentang ladang minyak yang hanya dalam setengah abad kering, hutan yang hanya beberapa jam ribuan hektar gundul, dan juga tambang emas yang dirahasiakan, serta bagaimana sebuah disposisi di tengah-tengah cermin internasional. Mungkin karena itu sebuah puisi bisa-bisa saja "dilarang" untuk dibacakan di taman budaya atau kampus bila tidak sama nadanya dengan "dirigennya".
Sedangkan dunia avantgarde dalam alam arus kebudayaan itu selalu mendapat tantangan zaman yang berat tetapi secara positif ia tetap merupakan katarsis kemanusiaan dari manusia. Dalam paradig ma demikian pencerahan masih ada yang menjadi dimensi spiritual yang tidak harus utopis dan sakral. Ia memberikan makna bahwa kemerdekaan dalam hidup adalah kedewasaan "menerima segala tiba". Begitu juga akan ada sisi kematangan demokratika "dari kumpu lannya yang terbuang, biar peluru menembus kulit". Prediksi masa depan kebudayan positif dimungkinkan dilihat hakekatnya dalam prediksi kekinian dan masa lampau tanpa harus terjebak dalam sakralitas budaya serta kebudayaan yang selalu bergerak dan berubah. Wallahu a'lam bissawab.
Di negeri asing, 1997.