ADRI SANDRA
BAGIAN DUA
DALAM GUA HATIKU
Begitu luas ruang dalam gua hatiku
sungai keharuan mengalir, percik-percik kepedihan
gemuruh angin menjatuhkan daun-daun kata
di permukaan airnya yang timbul
di mana segalanya berenang, bercakap-cakap
serpih-serpih waktu bertengger di menara kalbu
memandang jauh letak muara
dalam gua hatiku, langit bersimpuh
tunas-tunas kesepian tumbuh di pinggir sungai keharuan
butir-butir kata pun melayang jadi seribu burung liar
terbang ke balik awan membeku
dalam gua hatiku
dengarlah geletak mesin tenun para jantra
memilin keharuan dari benang-benang kesepian menjadi beledru
dan esok hari bilamana langit berdiri, matahari menyala lagi
seperti seribu siang dan waktu berperahu di sungai panjang keharuan
menjadi puisi-puisi
seribu burung liar akan jinak, awan mencair berbaris dibawa angin
maka gerimis pun mulai jatuh: dalam gua hatiku
dari atas menara kalbu lihatlah muara berpendar
menunggu tujuh dunia dari dua kutub di bumi
di dermaga hatiku ada seuntai senyum lembut ramah menunggu
Tuhan! ia di sini! Dalam gua hatiku
segalanya berbenah.
Payakumbuh, 1996).
DALAM IGAU-IGAU BADAI
dalam aku berlayar kupilih jalan tanpa ombak
sebab aku adalah perahuMu menepi ke pangkalan
dari berbagai benua kuhidu bau angin
dalam cermin kulihat juga badai menggeram
mendaki puncak awan terapung
dalam dunia, Engkau bisikkan kata-kata terindah
sebagaimana "Phaedrus"nya Plato berkidung
bahwa keindahan adalah satu-satunya yang terdapat dalam dunia ini
sepanjang pelayaran itu kini adalah lukisan tanpa gambar
sebagaimana aku di laut kehilangan tambatan sampan
di muka cermin aku pun mulai berkaca
kulihat bayangku berdandan penuh luka
dalam carakan badai yang mencekik dengan kuku baja
mengabarkan pada awan bahwa aku termasuk penjahat yang lemah
disiarkan pada segala benua melapuh resah
maka kukembalikan diriku padaMu dengan utuh
sebagaimana cahaya pulang pada matahari
sebagaimana "Candide"nya Voltaire bersenandung
"kejahatan itu bukan cuma bayang-bayang"
di benua itu kini beranaklah mata-mata dendam
atau di laut kapal-kapal telah dikurung topan
sebab dunia mengandung rasa perih dan senang
dan puisi cuma ilusi tanpa bayangan
padaMu, saat lidah maut menjangkau
kulihat sebuah taman dan burung-burung berkicau
dengan napas melekat di daun hijau
lalu kata-kata indah itu tertinggal dalam dunia
di tengah kejahatan dan penipuan
dan sebuah puisi pun jadi usai
dalam igau-igau badai.
Jakarta, 1988).
DALAM SATU PERAHU
Naiklah ke perahuku, jauh jalan di lautan
mari berdayung sampai ke pinggir langit
tabuhlah rebanamu dalam pengembaraan ini
tabuhlah!
dendangkan Sahara dan Sinai bersama alun gelombang
sebentar lagi bulan tenggelam, perahuku tak tahu di mana kan menepi
marilah kita berzikir karena pantai dan waktu tertinggal hanya sejengkal
menjelang sampai ke keabadianNya
yang direntang tanda-tanda tanya
di laut inilah, dalam satu perahu yang meluncur
kita melipur musim, topan, gelap, terang dan senyap pengembaraan
kita catat sejarah dari perjalanan yang ditinggalkan waktu
di belakang hari yang bergelombang
pun di depan jari-jari waktu yang kian menajam
Tuhan, seribu galau di laut ini tak menemukan pantai dan tujuan
jauh jalan di lautan, kita semakin dekat untuk kembali
teduh mataNya dilindungi kelepakan sayap burung-burung merpati
menuju surga keabadian
dalam keletihan, adakah tersimpan seribu ketabahan?
karena bulan berbentuk sabit akan tenggelam
tabuhlah rebanamu di sinar kelam
tabuhlah!
kumandangkan zikir ke batas sampai
agar perahuku, perahu kita yang satu berlayar
meluncur deras ke surgaNya
Padang, 1993)
KETIKA JENDELA KUBUKA
Dulu, segelas anggur dan sejambangan kembang
kau berikan kepadaku, wangi di meja pualam
di hadapan kau duduk memegang gelas yang sama
gelombang damai mekar dalam senyummu
membasuh kesunyian yang selalu turun
dari langit ke beranda bumiku
tapi di manakah abad-abad dulu?
di meja pualamku hanya segelas darah gagak
sejambangan kembang margis
engkau bersembunyi entah di balik tahun yang mana
di ruangan gelap, beranda bumiku
begitu senyap dan pengap
hanya tanda-tanda kematian di setiap sudut
ketika jendela kubuka, wajah malam meninta
tak bisa kutatap warna bumiku
selain lenting angin menerbangkan daun-daun dalam kelam
sebongkah nyanyian kecilmu mengambang pelan
tapi makna itu hilang dalam diriku
dan terasa abad ini hanyalah padang mimpi
dalam iringan bayang-bayang mencari diri
Payakumbuh, 1996)
TAMSIL RAHASIA
Tak perlu tabuh diguguh lagi
karena peristiwa ini bukanlah sejarah besar
yang perlu dicatat atau diberitakan
kita tengah tidur di arena kekalahan
berselimut bendera kebodohan
kita rubuh tanpa perlawanan balasan
negeri ini tak lagi punya pagar
penjara tak lagi berterali
marilah mencuci luka nurani
meyakini diri musuh bersembunyi
di penjara yang dibikinnya sendiri
sebab kabut tebal di abad ini
menghalang pandangan kita
menatap kebenaran seutuhnya
tak perlu tabuh diguguh lagi
karena peristiwa hanyalah tamsil rahasia
dari kekalahan yang terselamatkan
dari kemenangan yang menghancurkan
Payakumbuh, 1996)
ADRI SANDRA
DUA TEMBANG YANG BERBEDA
(Kecuali getar angklung
di tanah Badui
meresap ke alam purba)
seperti gunung terbakar malam itu Ajeng
ada yang pecah di kendi jantungku
sayup sunyi salung dari seberang
pantun dan seloka berhembus
padamkan api menjalar di gunung itu
aku berdiri di dua simpang Ajeng
tanganku di pinggang Kidul kakiku di Gunung Sago
perutku di arus Ci Ujung dukaku di Batang Sinamar
tapi darahku masih merah Ajeng, tidak biru
seperti langit yang memayungimu
kecuali getar angklung
terbawa angin tanah Badui
meresap ke mimpi kita
kecuali bunyi Salung
datang menghimbau pulang
dalam bayangan seribu rindu
di balik ombak dan gelombang
ah Ajeng: cahaya itu telah sirna
di dua tembang yang berbeda
di dua darah yang tak sama
langitku merah! langitmu biru
tak ada langit jingga
tampat kita berpadu.
Sunda - Padang, 1996)
ADRI SANDRA
PISAU DUA MATA
Mari kita angkat pisau ini
tanda pertemuan
sungai dan muara
ombak dan pantai
angin dan bukit
awan-awan di puncak benua
marilah!
mari kita cari punggung pisau ini
dalam sarungnya hanya kutemui kepedihan
setumpuk persoalan
maut yang ditangisi
perpisahan yang menyedihkan
kegembiraan yang ditelantarkan
disilau mata haus kematian
dan kecanduannya meminum darah
di rongga-rongga kehidupan maha parah marilah!
mari kita cium ujung pisau ini
saat ia berkedip
di leher bumi
dan di punggung dunia
semua mata menari-nari
riang sekali
sayap-sayap sejuta bayang-bayang
mencari-cari tubuhnya
berputar dan berkeliling
di tubuh pisau ini
dan di dua matanya
ada dendam berguling
tak mau sudah.
Palabihan, 1995)
ADRI SANDRA
AKU MASIH DI ASIA
Aku melintasi hutan lebat ini
perjalanan panjang kian panjang jua
seperti sungai yang kutemui
seperti bukit, lembah dan lekuk-lekuknya
gumam angin dalam geraknya
tak pernah menyerah
inilah Asia
latar dari segala akar
pohon-pohon biru muda memayungi bumi
tempat aku mengembara
cahaya kristal bermandi panas matahari
garis lintang mencari ujung khatulistiwa
aku menemukan kebimbangan
berbaris tentang jalan dunia
mata-mata bingung
meraba-raba latar dan waktu
yang menimbun jejak-jejaknya
di sinilah aku mengembara, hutan lebat
suara gigir laut dari jauh
dibawa gumam angin malam hari
ya, aku masih di Asia
bumi yang berbalut kain Eropah
Padang, 1995)
ADRI SANDRA
PUNCAK CAHAYA
Masih banyak tempat untuk singgah
pulau kosong yang kelam
sepertinya aku menemukan rumah tanpa jendela
negeri tanpa pagar
hanya ujung kabut mengukur ketinggian langit
dari panjang musim berkelana
akulah yang berdiri di tanah pedalaman
dari sana kutatap gunung tanpa nama
di bawahnya lembah buram
riuh suara burung
yang kehilangan sayap dan bulu-bulunya
barangkali semua tempat yang kusinggahi
adalah bumi perbatasan yang lengang
semua rumah yang kutemui
adalah senyap suara-suara hewan kehilangan kandang
di tanah pedalaman
kurasakan udara kian menghampa
sebaris Cahaya di gunung tanpa nama
mengkristal bersama embun
dan aku pun mulai mendaki
ke puncak suaraNya.
Padang, 1996)
ADRI SANDRA
SEBUAH PADANG YANG MEMBATU
Inilah padang penghambaan itu, o begitu luas
seperti gurun: segala yang ada hanya mengenal embun dan angin
bila awan di atas membujur letih
setelah melintasi gunung-gunung biru yang jauh
tanaman mana yang haus?
kecuali akar-akar purbani
telah membatu di padang ini
aku datang ketika matahari datang
aku melihat kemah-kemah hitam
orang-orang dalam lingkaran cahaya bernyanyi
petikan gitar, tetabuhan gendang
iramanya timbul timbul tenggelam dalam kecemasan
seperti tarian garang
musim depan telah datang
o abad telah pergi
ya, ini padang penghambaan
setelah kubaca larik-larik lagu kesangsian
yang semburat di hati mereka yang ngilu
aku pergi ketika matahari pergi
ketika senja tiada
ketika waktu tenggelam di rusuk bumi
aku tak kembali, matahari tak kembali
gelap! akar-akar purbani membesi
sebuah padang membatu
dan arakan orang-orang dalam gelap
merayap mencari-cari kemahnya
hitam berlipat kelam.
Kayutanam, 1996)
ADRI SANDRA
DE GRALL JAMSCHID
Kalau kau mencari De Grall Jamschid, gelas itu ada dalam dadaku
tak perlu mengelilingi dunia, seribu tahun telah lewat dan darah
menjadi hitam membeku
kini ia lebur terpukul matahari, kembangnya menjadi bunga-bunga di surga
harum ke langit di mana bulan bersepi, awan riang melintasi bintang-bintang
begitulah, bila malam telah mengurung manusia
jalan-jalan kecil di bumi, ke taman-taman, ke gunung-gunung dan
onta-onta bersangai di luas Sahara, tertutup gelap
percayakah dikau pada legenda, darah-darah suci yang memercik
lelap cahaya dunia?
dan Ruzbehan pun berkeliling dunia dengan kepalanya, tak pernah
lelap agak sekejap
akhirnya ia kembali ke Shiraq, De Grall Jamschid tumpah di buminya
lihatlah! orang-orang berdoa
dalam gelas hatinya dendam pingsan seperti bunga-bunga layu di bawah mekar taman
di matanya impian dan kenyataan, di depan mimbar kebesaran, di depan
patung-patung bersimbol Tuhan, di asap perabuan janazah
De Grall Jamschid mempersiang malam, tapi ia hilang setelah doa-doa berlayangan
De Grall Jamschid ada dalam dadaku!
darahnya cair mengalir di kuntum-kuntum puisi kebenaranku
yang menjadi kapal mengangkut ribuan pengungsi, yang sangsi kemerdekaan dan kebebasan bergumul kebuasan
bila matahari telah berlutut di kaki pagi, temui aku dalam senandung puisi
di sanalah zaman bersatu waktu
kokoh, bagai pulau-pulau dilingkar samudra!
semoga jalan-jalan kecil di bumi terang oleh cahaya hatiku, cahaya
gelasku, cahaya sajakku
De Grall Jamschid masih ada dalam kebenaran sejati!
Payakumbuh, 1993) ADRI SANDRA
SUARA SUNYI DARI UJUNG LAUT
Aku telah berjalan
sepanjang pasir pantai
sepanjang jalan yang ada di bumi
kini aku berada di lembah paling asing
dengan suara sunyi
yang diantarkan angin dari ujung laut
lewat tangan ombak yang ramping
di sini, o lembah suram yang buram
waktu tiada lagi memberi jejak
dari perjalanan panjang sang penyair
dan bayang-bayang dibawa angin
jauh ke laut
ujung-ujung badannya membenam
ke sunyi maha dalam.
Padang, 1995) Teluk Bayur, 1996).