ADRI SANDRA
BAGIAN SATU
MEMINTAL OMBAK
selamat berpisah, kenanglah
laki-laki yang berdiri di balai-balai bambu
memandang danau kembar siang yang silam
pandanglah seperti diam tembok puri
di pundaknya renda-renda langit
mewiru dukana, liar awan di angkasa
tak tahu tujuan pasti
biarkan cinta pulang ke cinta
rindu pulang ke rindu, bila negeri ini sunyi
biarkan darah lukaku menetes
membasahi mimpi-mimpi yang kabur
pandanglah aku dari jauh
seperti engkau memandang bukit
di seberang danau kembar waktu silam
berlatar kabut yang suram
selamat berpisah, biarkan aku berjalan
tetap di negeri ini
biarkan duka pulang ke duka, ke rumah sukmawi
di sini aku sendiri memintal riak dan angin
di danau tanpa pelabuhan.
Payakumbuh, 1996).
MENGUKUR PEMANDANGAN
Seperti sehelai daun kering saja
engkau melayang di bawah matahari
dalam gigil dan denyut bimbang
saat kududuk di kursi panjang
mengukur pemandangan
yang bergerak dalam matamu
begitu lama, ilusi yang kusimpan dulu
terhenti di sudut impian kabur
kini engkau tampak berdiri jauh
di bawah rimbun randu
sebaris kabut mengapuk di pucuknya
matahari sumbing menjelang senja
di kursi panjang ini
aku telah mengukur pemandangan
sisa-sisa waktu akan tetap meruang
berhembus ke balik hidup masa datang.
Tanjung Pati, 1996)
.
AKAR KEHILANGAN POHON
Masih saja pohon-pohon di gunung itu
berdiri angkuh dan manja
rimbun daun-daunnya mengundang angin
membelai-belai tubuhnya
berdesir dan bernyanyi ria
melengking ke angkasa atau suaranya turun lembah
seperti tiupan suling seratus penggembala
akar-akarnya yang berumah dalam bumi
selalu menjalar tanpa batas waktu
untuk menghidupi batang, ranting dan daun-daunnya
akar-akar yang menderita demi kasih dan cinta
tak pernah menikmati panas matahari
tak melihat awan bertengger di pucuk pohon
tak melihat bulan dan bintang malam hari
masih saja akar-akar itu berumah dalam bumi
sementara pohon-pohon kecintaannya
dimutasi ke desa-desa dan kota tanpa kulit, ranting dan daun-daun
pohon-pohon yang mendindingi rumah-rumah manusia
dari serbuan angin dan dingin cuaca
sementara akar-akar itu tetap berumah dalam bumi
mati dalam bumi
melebur bersama duka yang dituba.
Padang Japang, 1996).
SUARAMU TERSANGKUT DI UJUNG OMBAK
Bagi: RPD
Dari senja ke malam kita dibalut asap
debur ombak pantai Padang menguap ke ruang musim
di mana darah kita mengalir perlahan dari kepala ke ujung kaki
dan kau bicara tentang waktu!
lalu kita layangkan pandang ke sudut negeri tak bernama
masih putih, asap menebal
debur ombak menggetarkan pondasi langit
gigil darah di tubuh memuai saat panas semakin sesak di kamar itu
dari malam menjelang pagi asap itu berangsur hilang
kita berselam dalam malam, berenang di udara kota
kita melintasi jalan-jalan bersimpang
darah kita mengalir seperti sungai ke muara yang jauh
dan aku bicara tentang lalang-lalang kering
di mana puisi-puisi tersangkut
raung angin menggetarkan pohon-pohon di bukit
angin yang berasal dari laut
pencipta ombak dan lagu tak berirama
di sana musim selalu panas
"ya, kita berada di negeri yang sama
bumi penyair, tanpa tetes darah petaka!" katamu
pagi, suaramu tersangkut di ujung ombak
dan kau berkelana entah sampai di mana.
Padang, 1994 - Kayutanam, 1996).
TAMSIL RAHASIA
Tak perlu tabuh diguguh lagi
karena peristiwa ini bukanlah sejarah besar
yang perlu dicatat atau diberitakan
kita tengah tidur di arena kekalahan
berselimut bendera kebodohan
kita rubuh tanpa perlawanan balasan
negeri ini tak lagi punya pagar
penjara tak lagi berterali
marilah mencuci luka nurani
meyakini diri musuh bersembunyi
di penjara yang dibikinnya sendiri
sebab kabut tebal di abad ini
menghalang pandangan kita
menatap kebenaran seutuhnya
tak perlu tabuh diguguh lagi
karena peristiwa hanyalah tamsil rahasia
dari kekalahan yang terselamatkan
dari kemenangan yang menghancurkan
Payakumbuh, 1996)